Minggu, 30 Oktober 2011

Sistem Pertanian Terpadu Ubi Kayu

Diposting oleh renaex di 07.32 0 komentar
PENDAHULUAN
Tanaman ubi kayu (Manihotutikisima) memiliki berbagai varietas atau klon yang dapat langsung dikonsumsi sebagai makanan atau menjadi bahan baku bagi industri tapioka dan gapiek (manihok) ataupun tepung gapiek, yang selanjutnya dipergunakan untuk berbagai macam industri seperti makanan, makanan ternak, kertas, kayu lapis dan tainnya. Berdasarkan potensi fisik seperti kesesuaian lahan, iklim, sumberdaya manusia,dan tingkat adaptasi teknologi, tanaman ubi kayu banyak didapatkan dan bisa dibudidayakan di banyak tempat atau lokasi di Indonesia sehingga memungkinkan untuk diusahakan oleh para petani secara luas.
Hasil olahan ubi kayu berupa tapioka dan gapiek (manihok) dalam bentuk chips, pellet ataupun lainnya, telah lama menjadi komoditi ekspor yang sangat penting dalam menyumbang pendapatan devisa, karenanya merupakan aset yang sangat berharga dan perlu dijaga kelestariannya sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekspor pada masa-masa selanjutnya. Pengalaman petani menunjukkan bahwa penanaman ubi kayu sering tidak membuahkan hasil yang cukup baik untuk keluarga, karena keadaan tata niaga kayu yang banyak dipengaruhi oleh fluktuasi harga sehingga merugikan petani. Pada saat menjelang tanam, harga ubi kayu biasanya terlihat sangat menarik sehingga banyak petani berusaha menanamnya. Akan tetapi pada saat panen harga kayu kemudian jatuh sehingga banyak merugikan petani (berdasarkan data yang ada kapasitas pabrik dan potensi ekspor masih lebih besar dari jumlah produksi).
Kondisi ini telah mendorong banyak petani untuk mengalihkan perhatian dan berusaha menanam komoditi seperti kelapa sawit. Di sisi lain, apabila hal ini terus dibiarkan, akan bisa berakibat turunnya produksi yang dapat menekan pasokan ubi kayu baik untuk keperluan ekspor ataupun konsumsi sawit dalam negeri. Lemahnya posisi petani ubi kayu dalam menghadapi pengaruh fluktuasi harga, terutama disebabkan karena ubi kayu memiliki daya simpan yang rendah,dan produktifitasnya juga rendah akibat modal usaha yang sangat terbatas, disamping kebutuhan keluarga yang sudah sangat mendesak. Pendapatan petani ubi kayu akan makin rendah lagi Karen apada saat dijual ke pabrik mendapatkan mutu ubi kayunya rendah dan rafaksi yang ditentukan secara sepihak oleh pabrik.
Berdasarkan keadaan yang ada, maka salah satu alternatif untuk meng antisipasi masalah tersebut di atas, adalah dengan upaya mengadakan kerjasama antara para petani produsen ubi kayu di satu pihak dengan pengguna atau pemakai ubi kayu (baik dengan kapasitas pabrik yang cukup besar, maupun dengan kapasitas pabrik yang sedang) dipihak lain, sehingga dapat diciptakan bentuk kerjasama kemitraan dengan tata niaga yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Untuk mendukung kelancaran kemitraan ini, para petani memerlukan dukungan permodalan untuk keperluan penanaman ubi kayu, di mana bank pelaksana dapat berperan dengan memberikan kredit dengan skim kredit yang sesuai.Secara teknis upaya mengembangkan budidaya ubi kayu harus diikuti dengan adanya upaya untuk mengubah atau memperbaiki teknik budidaya yang selama ini masih konvensional menjadi teknik budidaya yang intensif. Hal ini dapat dicapai dengan lebih memantapkan penataan teknologi produksi mulai dari persiapan lahan, pengolahan lahan, penggunaan varietas unggul, pemeliharaan tanaman, Panen dan pasca panen serta distribusi pemasaran hasil.






TINJAUAN PUSTAKA
 Identifikasi Potensi Sumber Daya Alam Tanaman Ubi Kayu
Ubi kayu termasuk tanaman tropis, tetapi dapat pula beradaptasi dan tumbuh dengan baik di daerah subtropis. Secara umum tanaman ini tidak menuntut iklim yang spesifik untuk pertumbuhannya. Namun demikian ubi kayu akan tumbuh dengan baik pada iklim dan tanah. iklim yang cocok untuk tanaman ubi kayu antara lain :
Curah hujan : 750 - 1.000 mm/thn
Tinggi tempat : 0 - 1.500 m dpl
Suhu : 25 ͦ - 28 ͦ C
Fungsi singkong (ubi kayu) sudah mulai bergeser, dari penyediaan bahan pangan, berpotensi menjadi bahan baku untuk pengembangan bio-ethanol. Kebutuhan bio-ethanol sampai dengan 2010 tergolong cukup tinggi, yaitu mencapai 1,8 juta kilo liter.

 Pati ataun Amilum
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang penting.
Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada tes iodin sedangkan amilopektin tidak bereaksi.
“Pati” (bahasa Inggris starch) adalah penyusun (utama) tepung. Tepung bisa jadi tidak murni hanya mengandung pati, karena tercampur dengan protein, pengawet, dan sebagainya. Tepung beras mengandung pati beras, protein, vitamin, dan lain-lain bahan yang terkandung pada butir beras. Orang bisa juga mendapatkan tepung yang merupakan campuran dua atau lebih pati. Kata ‘tepung lebih berkaitan dengan komoditas ekonomis. Pati digunakan sebagai bahan yang digunakan untuk memekatkan makanan cair seperti sup dan sebagainya. Dalam industri, pati dipakai sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil, dan pada industri kosmetik.
 Bioetanol
Bioetanol merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak premium. Untuk pengganti premium, terdapat alternatif gasohol yang merupakan campuran antara bensin dan bioetanol. Adapun manfaat pemakaian gasohol di Indonesia yaitu memperbesar basis sumber daya bahan bakar cair, mengurangi impor BBM, menguatkan security of supply bahan bakar, meningkatkan kesempatan kerja, berpotensi mengurangi ketimpangan pendapatan antar individu dan antar daerah, meningkatkan kemampuan nasional dalam teknologi pertanian dan industri, mengurangi kecenderungan pemanasan global dan pencemaran udara (bahan bakar ramah lingkungan) dan berpotensi mendorong ekspor komoditi baru. Bioetanol tersebut bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Adapun konversi biomasa tanaman tersebut menjadi bioethanol adalah seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel Konversi biomasa menjadi bioethanol

Biomassa Jumlah biomassa (kg) Kandungan gula (kg) Jumlah hasil bioetanol (liter) Biomassa : Bioetanol
Ubi Kayu 1.000 250-300 166,6 6,5 : 1
Ubi Jalar 1.000 150-200 125 8 : 1
Jagung 1.000 600-700 400 2,5 : 1
Sagu 1.000 120-160 90 12:1
Tetes 1.000 500 250 4:1
 Sumber Daya Tanaman

Potensi pengembangan ubi kayu sebagai bahan bakar industri bioetanol
berdasarkan aspek biofisik di antaranya :
 Produktivitas
Rataan produktivitas ubi kayu secara nasional selama dasawarsa terakhir masih rendah, yaitu sekitar 40% dari potensi genetis dengan pengelolaan optimal (BPS 2005; Howeler 2001). Faktor utama yang menyebabkan potensi hasil tinggi adalah kemampuan menghasilkan fotosintat tinggi dan periode pertumbuhannya lama. Tanaman dapat memanfaatkan sinar matahari secara maksimal melalui pengaturan deklinasi dan inklinasi tangkai daun dan helaian daun (Hozyo et al. 1984), di mana helaian daun dapat bergerak mengikuti posisi matahari, sejak pagi hingga sore, ataupun mengikuti pergerakan matahari dari Lintang Selatan ke Lintang Utara dan sebaliknya. Potensi hasil tiap varietas bersifat spesifik lokasi (Suhartina 2005). Oleh karena itu, varietas unggul seperti Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5 wilayah berkembangnya berbeda. Peningkatan produksi dapat direalisasikan melalui penggunaan varietas unggul dan pengelolaan optimal. Dengan demikian, pengembangan industri pada berbagai tipe agroekologi, ketersediaan bakunya berpotensi dapat dijamin.

 Fleksibilitas umur panen

Hasil yang diharapkan dalam pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku industri bioetanol adalah ubi berkadar pati tinggi untuk meningkatkan efisiensi industri. Oleh karena itu, kriteria yang harus dipenuhi dalam penentuan umur panen adalah kadar pati optimal. Kadar pati optimal dicapai pada umur yang bervariasi dan secara umum dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu umur: (a) tujuh bulan (genjah), (b) sembilan bulan (sedang), dan (c) 10 bulan (dalam). Kualitas pati tidak berubah walaupun panennya ditunda, sedangkan bobot ubi meningkat sejalan dengan umur. Dengan demikian umur panen dapat disesuaikan dengan kebutuhan industri tanpa penurunan kualitas pati. Kondisi umur panen yang fleksibel tersebut memberikan gambaran adanya potensi untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri, sehingga potensial dikembangkan.

 Fleksibel dalam usaha tani

Ubi sebagai hasil usaha tani mempunyai peran multi guna, seperti sebagai bahan pangan, industri, pakan dan komoditas ekspor. Oleh karena itu, usaha tani ubi kayu dapat dilakukan secara subsisten, semi komersial dan komersial. Usaha tani subsisten dilakukan petani dengan tujuan utama pemenuhan kebutuhan pangan, sedangkan usaha tani semi komersial dan komersial dengan tujuan utama mendapatkan keuntungan dan pemenuhan permintaan pasar. Ubi kayu pertumbannya lambat selama tiga bulan pertama, sehingga usaha tani sistem tumpangsari dengan padi dan palawija lainnya juga potensial dikembangkan. Ubi kayu dapat dipanen mulai umur tujuh sampai 11 bulan, sehingga dapat dikategorikan sebagai tanaman semusim, dan dapat dipanen pada umur 12 bulan atau lebih, sehingga dapat dikategorikan sebagai tanaman tahunan/tanaman perkebunan. Sifat-sifat tersebut dapat digunakan sebagai indikator bahwa usaha tani ubi kayu fleksibel, dan dalam pengembangannya berpotensi menjamin ketersediaan bahan baku industri bioetanol, pangan, pakan, dan ekspor.

 Efisiensi energi tinggi

Sumber energi untuk bioetanol yang berbahan baku ubi kayu adalah pati. Kadar pati varietas unggul yang tersedia berkisar 25–31%. Kadar pati tidak menurun kualitasnya walaupun panennya dilakukan setelah umur optimal, bahkan hasilnya meningkat disebabkan oleh bobot ubi yang meningkat sejalan dengan umur panen. Oleh karena itu peningkatan hasil pati dapat diperoleh melalui penundaan umur panen dalam upaya meningkatkan hasil pati tiap satuan waktu dan luas lahan, yaitu antara 9,63–17,02 kg/hari/ha.
Bahan campuran premium 10% (premium mix E10) memiliki angka oktan sekitar 10% lebih tinggi dibandingkan dengan premium murni. Penggunaan premium mix E10 tersebut tidak memerlukan perubahan bagian-bagian pada mesin mobil untuk transportasi. Tingginya hasil pati tiap satuan luas dan waktu serta angka oktan tersebut memberikan gambaran bahwa ubi kayu sebagai bahan baku industri bioetanol berpotensi dikembangkan dalam program pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) untuk bidang transportasi.

 Efisiensi penggunaan air tinggi

Ketersediaan air untuk pertumbuhan ubi kayu yang ideal setiap fase pertumbuhan sekitar 30 mm, 50 mm, dan 30 mm/10 hari, masing-masing selama tiga bulan pertama, tiga bulan ke dua, dan satu bulan sebelum panen, Ubi kayu dapat mengatasi cekaman kekurangan air melalui aktivitas akar dan kanopi, di mana pada kondisi air tidak tersedia di dalam tanah lapisan atas, sekitar 30% dari akar ubi kayu berpenetrasi ke lapisan yang lebih bawah sampai kedalaman sekitar tiga meter, dan tanaman menggugurkan seluruh daunnya (kecuali daun pucuk) agar air yang diserap akar tidak menguap melalui helaian daun. Melalui mekanisme tersebut ubi kayu dapat bertahan hidup walaupun terjadi kekeringan. Implikasi dari keunggulan tersebut adalah ubi kayu potensial dikembangkan pada berbagai tipe iklim dan pola tanam, yaitu (1) wilayah beriklim basah dan kering, (2) dapat ditanam pada musim hujan dan kemarau, dan (3) dapat dirotasi dengan tanaman yang memerlukan air relatif tinggi dengan pola rotasi padi gogo, ubi kayu, padi sawah–ubi kayu, jagung–ubi kayu, dan aneka kacang ubi kayu.

 Efisiensi penggunaan lahan tinggi

Berdasarkan indikator rasio efisiensi penggunaan lahan (LER) dan potensi energi, ubi kayu mampu menggunakan lahan lebih efisien dibanding tanaman pangan lain. Ubi kayu memiliki pertumbuhan lambat selama tiga bulan pertama dan periode akumulasi fotosintat lama (12 bulan atau lebih), sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan melalui tumpang sari, seperti ubi kayu+padi/aneka kacang + jagung – aneka kacang-kacangan (jarak tanam ubi kayu 250x50 cm) atau sistem rotasi padi/palawija–ubi kayu. Penggunaan tumpangsari dengan pengelolaan optimal dan pemilihan varietas tanaman sela yang tepat, efisiensi penggunaan lahannya (LER) mencapai 2,5 atau lebih (Wargiono et al. 2001). Ubi kayu juga Prospek, Strategi dan Teknologi Pengembangan Ubi kayu untuk Agroindustri dan Ketahanan Pangan
memiliki efisiensi penggunaan lahan berdasarkan indikator hasil persatuan luas dan waktu paling tinggi dibanding padi sawah, padi gogo dan jagung, baik berdasarkan parameter hasil maupun kalori (Tabel 2). Berdasarkan indikator efisiensi penggunaan lahan tersebut ubi kayu sebagai bahan baku industri bioetanol cukup potensial untuk dikembangkan, baik pada lahan kering maupun lahan sawah tadah hujan Indeks Pertanaman padi 100.

 Usaha tani sistem integrasi ubi kayu–ternak

Sebagian besar lahan pertanian di Indonesia miskin bahan organik, sedangkan petani ubi kayu yang menggunakan pupuk organik sesuai dengan kondisi tanah (rasional) dan kontinyu relatif terbatas. Oleh karena penggunaan pupuk organik secara kontinyu sesuai dengan kondisi tanah dapat mempertahankan stabilitas hasil, meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik dan memperbaiki fisik tanah, maka perlu adanya upaya untuk menjamin ketersediaan pupuk organik sesuai dengan kebutuhan dan murah. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah usaha tani sistem integrasi ubi kayu–ternak ruminansia. Limbah ubi kayu yang dapat digunakan sebagai pakan ternak adalah daun dan kulit ubi, baik langsung maupun melalui olahan dalam bentuk silase. Daun ubi kayu berkadar protein tinggi, oleh karena itu penggunaan daun ubi
kayu sebagai suplemen pakan ruminansia (rumput gajah, jerami, dan rumput lainnya) dapat meningkatkan bobot harian ruminansia paling tinggi di- banding penggunaan Gliricedia dan Leucaena (Wargiono 2005). Rumput Gajah dapat diperoleh dari tanaman sistem hedgerows pada pematang yang ditanam baik khusus untuk pakan maupun pengendali erosi. Sedangkan jerami padi dan jagung dapat diperoleh dari tanaman sela dalam sistem tumpangsari atau rotasi. Hasil limbah panen dalam sistem tumpangsari ubi kayu+padi+jagung– kacang tanah dapat menyediakan pakan sekitar 48 ekor ruminansia kecil atau tiga ekor ruminansia besar/ha/tahun. Oleh karena limbah panen dari usaha tani dapat menjamin ketersediaan pakan selama setahun, penggunaan limbah untuk pakan dapat meningkatkan bobot harian serta hasil pupuk organik, dan penggunaan pupuk organik secara kontinyu dapat meningkatkan hasil dan limbah panen, maka usaha tani sistem integrasi ubi kayu–ternak tersebut sinergis, sehingga sistem tersebut potensial dikembangkan dalam upaya meningkatkan produktivitas ubi kayu secara lestari dengan input eksternal minimal (LEISA).

 Sumberdaya lahan

Tipe agroekologi yang sesuai untuk pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku industri bioetanol adalah lahan kering dan sawah tadah hujan beriklim basah dengan kategori kesesuaian lahan (S1 dan S2 dan S3 ) dengan perbaikan pengelolaan lahan yang optimal. Potensi hasil ubi kayu pada tanah Inseptisol (alkalin) dan Ultisol (masam) antara 25–35 ton/ha, lahan dengan tingkat kesesuaian S2 dan S3 dengan pengelolaan optimal sangat potensial untuk pengembangan ubi kayu.
Luas pertanaman ubi kayu di sentra produksi yang berpotensi ditingkatkan produktivitasnya di daerah beriklim basah dan kering sekitar 0,4 juta ha dan 0,70 juta ha. Luas lahan tidur di daerah beriklim basah dan kering adalah 4,5 juta dan 1,3 juta ha. Untuk lahan sawah tadah hujan di daerah beriklim basah dan kering masing-masing 0,3 juta dan 0,8 juta ha. Lahan tidur dan sawah tadah hujan tersebut cukup potensial untuk perluasan areal tanaman sebagai kebun penyangga yang dikelola oleh pihak industri bioetanol.

 Aspek Sosial Ekonomi
Secara sosial ekonomi, pengembangan ubi kayu berpotensi dikembangkan atas dasar respon petani terhadap usaha tani ubi kayu cukup tinggi, budidaya ubi kayu telah dikenal petani secara turun temurun di 36 propinsi, biaya produksi usaha tani ubi kayu lebih murah dibanding tanaman pangan lainnya, sumbangan ubi kayu terhadap pendapatan petani cukup besar, dan sebagai bahan pangan pokok. Fluktuasi produksi antar waktu yang tinggi sebagai akibat dari fluktuasi harga ubi di tingkat petani mengindikasikan bahwa respon petani terhadap usaha tani juga tinggi bila harga ubi memadai. Dengan demikian, adanya pengembangan industri bioetanol yang dapat menciptakan harga ubi yang layak akan mendorong petani untuk mening-
katkan produksi ubi kayu secara regional.
Budidaya ubi kayu yang telah dikenal petani secara turun-temurun merupakan modal dasar yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan ubi kayu melalui intensifikasi. Senjang produktivitas yang cukup besar antar propinsi dan pertumbuhan produktivitas sekitar 2,58%/tahun selama lima tahun terakhir mengindikasikan bahwa petani responsif terhadap teknologi untuk meningkatkan hasil bila didukung harga yang memadai. Ubi kayu sebagai pangan pokok merupakan faktor pendorong terhadap keberlanjutan usaha tani sejalan dengan kebutuhan pangan keluarga. Oleh karena kebutuhan pangan berdasarkan kesetaraan kalori sekitar 1 ton ubi segar/tahun/keluarga dan luas lahan untuk ubi kayu antara 0,25–0,75 ha/kk, maka akan terdapat kelebihan hasil sebagai bahan baku industri bioetanol.
Biaya produksi usaha tani ubi kayu per satuan luas lebih murah 20–40% dibanding padi gogo dan palawija lainnya, sehingga usaha tani ubi kayu merupakan pilihan bagi petani bermodal terbatas. Selanjutnya, mengingat jumlah petani bermodal terbatas jumlahnya sekitar 35% dari total keluarga tani, maka terdapat potensi menggeser sistem usaha taninya dari subsisten ke semi komersial melalui bantuan kredit usaha tani dalam pola kemitraan dengan pihak industri bioetanol.


 Hambatan Pengembangan Ubi Kayu
Hambatan dalam pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku industri bioetanol dapat dipilah berdasarkan aspek manajemen, biofisik dan sosial ekonomi.
 Aspek Manajemen
Hambatan pengembangan ubi kayu yang berkaitan dengan aspek mana- jemen, di antaranya adalah: (1) program Pemda belum komprehensif, (2) dukungan sistem pemasaran lemah, (3) dukungan BKPM kurang realistis, (4) penyuluhan pertanian bias ke komoditas superior, (5) Perpres No.5 dan Inpres No. 1 tahun 2006 belum terimplementasikan di kabupaten, (6) tata ruang pengembangan industri berbahan baku ubi kayu belum berbasis daya dukung lingkungan, (7) koordinasi antar instansi terkait lemah, (8) ubi kayu belum termasuk komoditas unggulan prioritas utama, (9) koordinasi tim teknis dalam penyusunan teknologi anjuran lemah, dan (10) infrastruktur belum memadai.
Program Pemda untuk pengembangan industri berbahan baku ubi kayu kurang komprehensif berdasarkan indikator belum tercerminnya keterkaitan antara daya dukung lingkungan dengan industri hulu dan hilir. Tata ruang pembangunan fisik industri berbahan baku ubi kayu di beberapa propinsi tidak berdasarkan pada daya dukung lingkungan seperti jarak antar industri berdasarkan radius kemampuan hamparan untuk memenuhi bahan baku industri; misalnya, industri dengan kapasitas 390 ton ubi segar/hari mempunyai wilayah pendukung sekitar 30 km untuk wilayah dengan agroekosistem di mana ubi kayu hanya mampu memberikan hasil 20 ton/ha ubi segar.
Peluang investor untuk membangun industri bioetanol sulit mendapatkan persetujuan BKPM karena terkait dengan industri alkohol yang berpeluang mengarah ke minuman keras. Masalah yang cukup pelik adalah adanya cukai untuk produk-produk alkohol. Bila hal tersebut berlaku untuk bioetanol sebagai campuran bahan bakar, maka akan memberatkan pihak industri untuk mendapatkan harga bahan baku yang layak bagi petani.
Pasar lokal untuk produk bioetanol belum jelas keberlanjutannya disebabkan oleh Perda penjabaran Keppres No. 05 dan Inpres No. 1 Tahun 2005 yang belum terimplementasi di daerah-daerah proyeksi pengembangan industri bioetanol. Dengan demikian, diperlukan adanya SK Menteri terkait untuk memberikan kepastian pasar sebagai pegangan bagi investor untuk mengembangkan industri bioetanol.
Posisi Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) yang cukup solid pada saat revolusi hijau cenderung melemah dalam era otonomi daerah. Kondisi tersebut diperparah dengan beralih fungsinya PPL ke struktural dan PPL yang ada cenderung bias ke komoditas superior. Bila revitalisasi lembaga penyuluhan tidak dilaksanakan, keberhasilan pengembangan bahan bakar nabati untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM akan terhambat. Keputusan Presiden No. 05 dan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 belum dilengkapi dengan SK tentang BBM mix, harga dan sistem distribusinya di SPBU belum merupakan kekuatan penuh bagi para investor untuk mengembangkan industri bioetanol. Bila Perda dan SK Menteri terkait tidak segera direalisasikan percepatan pengembangan industri bioetanol akan terhambat.
Tata ruang industri bioetanol yang ideal adalah yang berbasis daya dukung lingkungan yakni dalam bentuk hamparan lahan yang produksi ubi kayunya mampu memenuhi kebutuhan bahan baku harian selama setahun secara kontinyu. Sebagai contoh adalah setiap hamparan pertanaman ubi kayu dengan produktivitas 20 ton/ha dalam radius 30 km hanya boleh dibangun satu industri bioetanol dengan kapasitas 60 kl/hari. Dalam hamparan tersebut termasuk perkebunan energi yang dikelola oleh industri sebagai penyangga ketersediaan bahan baku. Ketentuan tersebut harus
termasuk dalam Perda. Koordinasi antar instansi terkait dengan progaram aksi pengembangan industri bioetanol dari pusat sampai daerah belum terwujud dalam suatu
kesepakatan. Bila hal tersebut tidak segera terimplementasi berpotensi menghambat investor untuk mengembangkan industri bioetanol di daerah sentra produksi ubi kayu.
Produktivitas ubi kayu yang mempunyai keunggulan dibanding komoditas tanaman pangan lain dalam usaha tani dipengaruhi oleh penggunaan teknologi inovatif spesifik lokasi. Teknologi produksi tersebut disusun berdasarkan hasil kajian dari BPTP bekerjasama dengan instansi terkait yang disusun oleh tim teknis. Otonomi daerah yang organisasinya inkonsisten mengakibatkan koordinasi tim teknis juga tidak konsisten. Bila hal tersebut tidak dibenahi berpotensi menghambat partisipasi petani dalam pengem- bangan industri bioetanol.
Petani produsen ubi kayu mengalami kesulitan dalam pemasaran hasil untuk mendapatkan harga yang layak, disebabkan oleh dukungan fasilitas dan infrastruktur yang belum memadai. Implikasinya adalah, industri bioetanol akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku dengan harga layak pada musim hujan disebabkan oleh sulitnya armada angkutan mencapai lahan petani yang infrastrukturnya belum memadai. Industri tapioka tidak tersebar sesuai dengan sebaran konsumen. Industri tapioka skala besar terkonsentrasi di Sumatera bagian selatan.
 Peluang Pasar
konsumen tersebar di berbagai pulau. Kondisi tersebut berpotensi men-
dorong terjadinya harga tapioka impor dari Thailand lebih murah di daerah yang letaknya lebih dekat dengan Thailand dibanding Lampung. Hal tersebut berpeluang terjadi pada industri bioetanol bila sebaran industri bioetanol seperti sebaran industri tapioka, sehingga harga bioetanol akan bervariasi dan tidak kompetitif.
Strategi untuk mengatasi masalah manajemen tersebut diprioritaskan
pada:
• penegakan Perpres/Inpres agar lebih konsisten untuk mendorong minat
swasta mengembangkan industri bioetanol, dan melalui revitalisasi perta-
nian dan perhatian pemerintah yang besar untuk memenuhi permintaan
bioetanol yang tinggi,
• pemanfaatan upaya Pemda menegakkan Perpres No. 5 tahun 2006/Inpres
No. 1 tahun 2006 yang makin konsisten dan pengambilan keputusan melalui
Perda untuk meningkatkan koordinasi antar instansi terkait, dan permintaan
bioetanol yang tinggi untuk memperbaiki implementasi program pengem-
bangan ubi kayu sebagai bahan baku industri bioetanol,
• pemanfaatan perhatian pemerintah yang besar dan minat swasta
mengembangkan industri bioetanol untuk mencegah ekspor gaplek sebagai
bahan baku industri bioetanol skala besar di RRC, dan melalui revitalisasi
pertanian ekspor bioetanol oleh investor asing dan ekspor alkohol dapat
dicegah, dan
• revitalisasi lembaga penyuluhan dan perbaikan koordinasi antar instansi
yang terkait dengan pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku industri
bioetanol untuk mencegah ekspor gaplek sebagai bahan baku industri
bioetanol RRC, ekspor bioetanol dan alkohol.
 Aspek Biofisik
Hambatan yang terkait dengan aspek biofisik dalam pengembangan ubi kayu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri bioetanol meliputi sumberdaya tanaman, lahan, dan petani. Permasalahan sumberdaya tanaman meliputi: (1) siklus pertanaman panjang, (2) pertumbuhan fase awal lambat, (3) kadar pati bervariasi dan spesifik agroekologi, (4) sifat hasil “bulky”. Permasalahan sumberdaya lahan meliputi: (1) kadar hara makro dan bahan organik tanah rendah, (2) peka erosi dan konservasinya belum efektif, (3) PTT belum berkembang, (4) sentra produksi didominasi oleh iklim kering, (5) kinerja kelompok tani lemah, (6) tenaga kerja produktif untuk usaha tani terbatas, dan (7) tingkat pendidikan rendah.
Dampak negatif dari umur tanaman yang panjang dalam usaha tani ubi kayu berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah sentra produksi, diantaranya adalah: (1) investasi input rendah, (2) sering dipanen sebelum umur optimal, (3) sistem usaha tani subsisten, (4) didominasi oleh sistem tumpang sari untuk petani berlahan sempit, (5) sistem rotasi dengan tanaman pangan berumur pendek, dan (6) pengelolaan kurang optimal. Usaha tani ubi kayu dengan sistem tersebut produktivitasnya rendah dan cenderung tidak mempunyai keunggulan. Kondisi tersebut dapat menghambat pemenuhan bahan baku industri bioetanol. Pertumbuhan ubi kayu pada fase awal yang lambat berpotensi memicu munculnya masalah seperti erosi dan gangguan gulma. Erosi akan berlangsung sejalan dengan waktu yang menyebabkan terjadinya degradasi tanah bila tidak dilakukan konservasi yang efektif. Pertumbuhan ubi kayu yang lambat pada fase awal memacu gulma untuk tumbuh lebih cepat dan pertumbuhan ubi kayu terhambat karena tidak mampu berkompetisi dengan gulma. Bila pengendalian erosi dan gulma tidak dilakukan secara efektif, produktivitas ubi kayu tidak optimal sehingga berpotensi tidak terpenuhinya kebutuhan bahan baku untuk industri bioetanol.
Kadar pati maksimal berdasarkan potensi genetis dari varietas unggul dapat dicapai pada kondisi lingkungan optimal, dan akan menurun bila terjadi cekaman lingkungan. Kondisi optimal untuk tiap varietas tidak sama, sehingga penggunaan multivarietas unggul (umur genjah, sedang dan dalam) diperlukan pada daerah yang kondisi lingkungan abiotiknya bervariasi, seperti kemarau panjang atau anomali iklim, dan lain-lain.
Sistem tumpangsari ubi kayu dengan tanaman pangan lainnya berpotensi
menurunkan produktivitasnya bila terjadi kompetisi hara dan cahaya, namun berpeluang meningkatkan produktivitas bila pengaturan jenis tanaman dan populasi tanaman/jarak tanamnya tepat. Oleh karena jumlah petani berlahan sempit mendominasi petani di pulau Jawa, maka kondisi tersebut berpotensi mengganggu ketersediaan bahan baku industri bioetanol.
Sebagian lahan pertanian berkadar hara makro dan bahan organik antara rendah – sangat rendah. Hal tersebut dapat menjadi faktor pembatas produktivitas. Bila kondisi tersebut tidak diatasi, maka dapat menjadi faktor penghambat dalam upaya meningkatkan produksi ubi kayu untuk mendukung pengembangan industri bioetanol. Upaya tersebut sulit diimplementasikan disebabkan terbatasnya modal usaha tani dan petani yang memiliki ruminansia sebagai produsen pupuk organik jumlahnya relatif sedikit.Iklim kering mendominasi daerah sentra produksi ubi kayu. Karakteristik produksi ubi kayu di daerah beriklim kering adalah petaninya menanam ubi kayu secara serentak pada awal musim hujan dan bulan panen terkonsentrasi
pada musim kemarau. Dengan demikian produksi ubi kayu tidak terdistribusi merata sepanjang tahun sesuai dengan kebutuhan bahan baku industri bioetanol.Rataan hasil ubi kayu nasional sekitar 40–60% dari potensi genetis merupakan indikator bahwa pengelolaan tanaman terpadu (PTT) belum berkembang. Lahan marginal dan usaha tani subsisten yang mendominasi sebagian besar daerah sentra produksi ubi kayu merupakan penyebab utama belum berkembangnya teknologi pengelolaan tanaman terpadu/sistem integrasi ubi kayu–ternak (PTT/SIUT).

 Kelembagaan Lokal dan SDM
Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) adalah suatu program kemitraan terpadu yang melibatkanusaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan bank sebagai pemberi kreditdalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Tujuan PKTantara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dankerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bankdalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien.Dalam melakukan kemitraan hubunga kemitraan, perusahaan inti (Industri Pengolahan atauEksportir) dan petani plasma/usaha kecil mempunyai kedudukan hukum yang setara.Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai daripenyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi.
Proyek Kemitraan Terpadu ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang usahamelibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha kecil, (2) PengusahaBesar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi KKPA.Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam PKT yang sesuai dengan bidang usahanya.Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil dengan Pengusaha Pengolahanatau eksportir dalam PKT, dibuat seperti halnya hubungan antara Plasma dengan Inti didalam Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Petani/usaha kecil merupakan plasma danPerusahaan Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian menjaditerpadu dengan keikut sertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman bagipembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini kemudian dikenal sebagai PKT yang disiapkandengan mendasarkan pada adanya saling berkepentingan diantara semua pihak yang bermitra.
1. Petani Plasma
Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a) Petani yangakan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman dan perkebunan atauusaha kecil lain, (b) Petani /usaha kecil yang telah memiliki usaha tetapi dalam keadaanyang perlu ditingkatkan dalam untuk itu memerlukan bantuan modal.Untuk kelompok (a), kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan penanaman ataupenyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok (b), kegiatan dimulai dari telah adanya kebunatau usaha yang berjalan, dalam batas masih bisa ditingkatkan produktivitasnya denganperbaikan pada aspek usaha.Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang dimiliki olehmasing-masing petani/usaha kecil. Pada setiap kelompok tani/kelompok usaha, ditunjukseorang Ketua dan Sekretaris merangkap Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompokadalah mengadakan koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh parapetani anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi dan instansilainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua kelompok wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok.
2. Koperasi
Para petani/usaha kecil plasma sebagai peserta suatu PKT, sebaiknya menjadi anggotasuata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan kegiatan-kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas KKPA hanya bisa diperoleh melalui keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakanKKPA harus sudah berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukupbaik untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman KKPA para anggotanya. Jikamenggunakan skim Kredit Usaha Kecil (KUK), kehadiran koperasi primer tidak merupakankeharusan
3. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir
Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama sebagai intidalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan dan fasilitas pengolahanuntuk bisa menlakukan ekspor, serta bersedia membeli seluruh produksi dari plasma untukselanjutnya diolah di pabrik dan atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlumemberikan bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksiuntuk keperluan petani plasma/usaha kecil.Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan pembinaanteknis usaha, PKT tetap akan bisa dikembangkan dengan sekurang-kurangnya pihak Intimemiliki fasilitas pengolahan untuk diekspor, hal ini penting untuk memastikan adanyapemasaran bagi produksi petani atau plasma. Meskipun demikian petani plasma/usaha kecildimungkinkan untuk mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual kepadaPerusahaan Inti.Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan pembibinganharus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan bantuan tenaga pihak DinasPerkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan oleh Koperasi. Apabila koperasimenggunakan tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), perlu mendapatkan persetujuanDinas Perkebunan setempat dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan.Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga-tenaga teknis yang memilikiketerampilan dibidang perkebunan/usaha untuk membimbing petani/usaha kecil dengandibiayai sendiri oleh Koperasi. Tenaga-tenaga ini bisa diberi honorarium oleh Koperasi yangbisa kemudian dibebankan kepada petani, dari hasil penjualan secara proposional menurutbesarnya produksi. Sehingga makin tinggi produksi kebun petani/usaha kecil, akan semakinbesar pula honor yang diterimanya.


4. Bank
Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak Petani Plasmadengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir sebagai inti, dapat kemudianmelibatkan diri untuk biaya investasi dan modal kerja pembangunan atau perbaikan kebun.Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek budidaya/produksiyang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak bank di dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga dapat menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akandigunakan untuk pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yangsesuai dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya pendapatanbersih petani yang paling besar.Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan mencairkankredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional lapangan, dan bagaimanapetani akan membayar angsuran pengembalian pokok pinjaman beserta bunganya. Untukini, bank agar membuat perjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkankesepakatan pihak petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uanghasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untukdibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencanaangsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani/Kelompoktani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usahakecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnyapotongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjiankredit dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank.


 Pola Kerjasama
Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi dengan perusahaan mitra, dapat dibuatmenurut dua pola yaitu :a. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasamalangsung kepada Perusahaan Perkebunan/Pengolahan Eksportir.Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada petaniplasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Channeling Agent, danpengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaanharus bisa diberikan oleh Perusahaan Mitra.b. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui koperasinya mengadakanperjanjian yang dibuat antara Koperasi (mewakili anggotanya) dengan perusahaanperkebunan/pengolahan/eksportir.
Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasamalangsung kepada Perusahaan Perkebunan/Pengolahan Eksportir.Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada petaniplasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Channeling Agent, danpengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaanharus bisa diberikan oleh Perusahaan Mitra.b. Petani yang tergabung dalam kelompok - kelompok tani, melalui koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi (mewakili anggotanya) dengan perusahaanperkebunan/pengolahan/eksportir.





Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian KKPA kepada petani plasma dilakukandengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent. Masalah pembinaan teknis budidayatanaman/pengelolaan usaha, apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra,akan menjadi tanggung jawab koperasi.
 Penyiapan Proyek Kemitraan Terpadu
Untuk melihat bahwa PKT ini dikembangkan dengan sebaiknya dan dalam proseskegiatannya nanti memperoleh kelancaran dan keberhasilan, minimal dapat dilihat daribagaimana PKT ini disiapkan. Kalau PKT ini akan mempergunakan KKPA untuk modal usahaplasma, perintisannya dimulai dari
A. Adanya petani/pengusaha kecil yang telah menjadi anggota koperasi dan lahan pemilikannya akan dijadikan kebun/tempat usaha atau lahan kebun/usahanya sudah adatetapi akan ditingkatkan produktivitasnya. Petani/usaha kecil tersebut harus menghimpundiri dalam kelompok dengan anggota sekitar 25 petani/kelompok usaha. Berdasarkan persetujuan bersama, yang didapatkan melalui pertemuan anggota kelompok, merekabersedia atau berkeinginan untuk bekerja sama dengan perusahaanperkebunan/pengolahan/eksportir dan bersedia mengajukan permohonan kredit (KKPA)untuk keperluan peningkatan usaha. Adanya perusahaan perkebunan/pengolahan dan eksportir, yang bersedia menjadimitra petani/usaha kecil, dan dapat membantu memberikan pembinaan teknikbudidaya/produksi serta proses pemasarannya, Dipertemukannya kelompok tani/usaha kecil dan pengusaha perkebunan/pengolahandan eksportir tersebut, untuk memperoleh kesepakatan di antara keduanya untuk bermitra.Prakarsa bisa dimulai dari salah satu pihak untuk mengadakan pendekatan, atau ada pihakyang akan membantu sebagai mediator, peran konsultan bisa dimanfaatkan untukmengadakan identifikasi dan menghubungkan pihak kelompok tani/usaha kecil yangpotensial dengan perusahaan yang dipilih memiliki kemampuan tinggi memberikan fasilitasyang diperlukan oleh pihak petani/usaha kecil;
Diperoleh dukungan untuk kemitraan yang melibatkan para anggotanya oleh pihakkoperasi. Koperasi harus memiliki kemampuan di dalam mengorganisasikan dan mengelolaadministrasi yang berkaitan dengan PKT ini. Apabila keterampilan koperasi kurang, untukpeningkatannya dapat diharapkan nantinya mendapat pembinaan dari perusahaan mitra.Koperasi kemudian mengadakan langkah-langkah yang berkaitan dengan formalitas PKTsesuai fungsinya. Dalam kaitannya dengan penggunaan KKPA, Koperasi harus mendapatkanpersetujuan dari para anggotanya, apakah akan beritndak sebagai badan pelaksana(executing agent) atau badan penyalur (channeling agent);
Diperolehnya rekomendasi tentang pengembangan PKT ini oleh pihak instansipemerintah setempat yang berkaitan (Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, KantorBadan Pertanahan, dan Pemda);



 Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu

Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu dapat dilihat pada skema berikut ini Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip bank teknis.Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota kesepakatan (Memorandumof Understanding = MoU) yang mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bermitra (inti, Plasma/Koperasi dan Bank). Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasakoperasi atau plasma, kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma kerekening inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi, danapekerjaan fisik, dan lain-lain.

Dengan demikian plasma tidak akan menerima uang tunai dariperbankan, tetapi yang diterima adalah sarana produksi pertanian yang penyalurannyadapat melalui inti atau koperasi. Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasiltanaman plasma dijual ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaaninti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan kepada banksebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan. Agroforestri Khas Indonesia.
Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Centre For Research In
Agroforestry. Bogor.
Anonim. 2001. Sistem Pertanian di Indonesia.http://www.lab link.or.id. Diakses
pada tanggal 22 Mei 2010 pukul 17.00 WIB
Danoesastro, Haryono. 1979. Pemanfaatan Pekarangan. Yayaan Pembina FakulasPertanian UGM. Yogyakarta
.
Dover,M. dan Talbot,L.M., 1987. To Feed The Earth: Agroecology for
Sustainable Development. World Resources Intitute. Washington DC.
Handayanto, E. 1999. Pengelolan Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian.
Universitas Brawijaya. Malang.
Hardjowigeno, S., 1989. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta
Manuwoto.2009. Sistem Pertanian di Indonesia.
Http://makhey.blogspot.com/2009/09/sistem-pertanian-di-indonesia.
Diakses pada tanggal 27 Mei 2010.
Monika, WT et al. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas
Maret Universitas Press. Surakarta.
Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan
Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering.Makalah
Seminar Nasional dan Pelatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember

Pusat Peneliti Universitas Brawijaya. 1991. Penelitian dan Pengembangan Sistem
Usaha Tani Lahan Kering Yang Berkelanjutan. Proseding Simposium Nasional Malang. Universitas Brawijaya. Malang

Reijntjes,C., B.Haverkot dan A. W. Bayer., 1999. Pertanian Masa Depan Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Kanisius. Yogyakarta.

TUGAS KELOMPOK
SISTEM PERTANIAN TERPADU
EKOSISTEM TANAMAN UBI KAYU



DISUSUN OLEH :
ERNAWATY DJAYA ( G111 09 276)
RATI PRADHANI ( G111 09 294 )
NUR JANNAH
IRAWAN TAMRIN

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
JURUSAN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011

Minggu, 09 Oktober 2011

sistem otot pada hewan

Diposting oleh renaex di 21.15 0 komentar
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan, ada beberapa bagian yang dapat membantu antara organ satu dengan organ lainnya, contohnya saja otot. Otot dapat melekat di tulang yang berfungsi untuk bergerak aktif. Selain itu otot merupakan jaringan pada tubuh hewan yang bercirikan mampu berkontraksi, aktivitas biasanya dipengaruhi oleh stimulus dari sistem saraf. Unit dasar dari seluruh jenis otot adalah miofibril yaitu struktur filamen yang berukuran sangat kecil tersusun dari protein kompleks, yaitu filamen aktin dan miosin (Awik, 2004).
Pada saat otot berkontraksi, filamen-filamen tersebut saling bertautan yang mendapatkan energi dari mitokondria di sekitar miofibril. Oleh karena itu, banyak jenis otot yang saling berhubungan walaupun jenis otot terdiri dari otot lurik, otot jantung, dan otot rangka. Ketiganya mempunyai fungsi dan tujuan yang berbeda pula.

1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami perbedaan jenis-jenis jaringan otot pada hewan maupun pada manusia. Selain itu, dapat mengetahui kontraksi otot pada saat otot bekerja.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Otot
Otot merupakan suatu organ/alat yang dapat bergerak ini adalah sutau penting bagi organisme. Gerak sel terjadi karena sitoplasma merubah bentuk. Pada sel-sel sitoplasma ini merupakan benang-benang halus yang panjang disebut miofibril. Kalau sel otot yang mendapatkan rangasangan maka miofibril akan memendek, dengan kata lain sel oto akan memendekkan dirinya kearah tertentu.
Otot merupakan jaringan pada tubuh hewan yang bercirikan mampu berkontraksi, aktivitas biasanya dipengaruhi oleh stimulus dari sistem saraf. Unit dasar dari seluruh jenis otot adalah miofibril yaitu struktur filamen yang berukuran sangat kecil yang tersusun dari protein kompleks , yaitu filamen aktin dan miosin. Pada saat berkontraksi, filameb-filamen tersebut saling bertautan yang mendapatkan energi dari mitokondriadi sekitar miofibil.
Terdapat pula macam – macam otot yang berbeda pada vertebrata. Yang pertama ialah otot jantung, yaitu otot yang menyusun dinding jantung. Otot polos terdapat pada dinding semua organ tubuh yang berlubang (kecuali jantung). Kontraksi otot polos yang umumnya tidak terkendali, memperkecil ukuran struktur-struktur yang berlubang ini. Pembuluh darah, usus, kandung kemih dan rahim merupakan beberapa contoh dari struktur yang dindingnya sebagian besar terdiri atas otot poos. Sehingga kontraksi otot polos melaksanakan bermacam-macam tugas seperti meneruskan makanan kita dari mulut ke saluran pencernaan, mengeluarkan urin, dan mengirimkan bayi ke dunia.Otot kerangka, seperti namanya, adalah oto yang melengkat pada kerangka. Otot ini dikendalikan dengan sengaja. Kontraksinya memungkinkan adanya aksi yang disengaja seperti berlari, berenang, mengerjakan alat-alat, dan bermain bola. Akan tetapi, apabila otot jantung, otot polos, ataupun otot kerangka atau lurik memeberikan suatu ciri, maka otot tersebut merupakan alat yang menggunakan energi kimia dan makanan untuk melakukan kerja mekanisme.
Jenis-jenis otot
Dalam garis besarnya sel otot dapat dibagi menjadi 3(tiga) golongan yaitu :
1. Otot Polos
Otot polos terdiri dari sel-sel otot polos. Sel otot ini bentuknya seperti gelendongan, dibagian tengan terbesar dankedua ujungnya meruncing. Otot polos memilki serat yang arahnya searah panjang sel tersebut miofibril. Serat miofilamen dan masing-masing mifilamen teridri dari protein otot yaitu aktin dan miosin. Otot polos bergerak secara teratur, dan tidak cepat lelahg. Walaupun tidur. Otot masih mampu bekerja. Otot polos terdapat pada alat-alat dinding tubuh dalam, misalnya pada dinding usus, dinding pembuluh darah, pembuluh limfe, dinding saluran pencernaan, takea, cabang tenggorok, pada muskulus siliaris mata, otot polos dalam kulit, saluran kelamin dan saluran ekskresi (Ville,1984)
Cara kerja otot polos
Bila otot polos berkontraksi, maka bagian tengahnya membesar dan otot menjadi pendek. Kerutan itu terjadi lambat, bila otot itu mendapat suatu rangsang, maka reaksi terhadap berasal dari susunan saraf tak sadar (otot involunter), oleh karena itu otot polos tidak berada di bawah kehendak. Jadi bekerja di luar kesadaran kita.
2. Otot lurik
Sel-sel otot lurik berbentuk silindris atau seperti tabung dan berinti banyak, letaknya di pinggir, panjangnya 2,5 cm dan diameternya 50 mikron. Sel otot lurik ujungnya sel nya tidak menunjukkan batas yang jelas dan miofibril tidak homogen akibatnya tampak serat-serat lintang. Otot lurik di bedakan menjadi 3 macam, yaitu : otot rangka, otot lurik, dan otot lingkar. Otot-otot rangka mempunyai hubungan dengan tulang dan berfungsi menggerakkan tulang. Otot ini bila di lihat di bawah mikroskop, maka tampak susunannya serabut-serabut panjang yang mengandung banyak inti sel, dan tampak adanya garis-garis terang di selingi gelap yang melintang (Ville,1984).
Otot-otot kulit seperti yang terdapat pada roman muka termasuk otot-otot lurik berada di bawah kehendak kita. Perlekatannya pda tulang dan kulit, tetapi ada juga terdapat dalam kulit seluruhnya. Otot-otot yang merupakan lingkaran di sebuah otot lingkaran, misalnya otot yang mengelilingi mulut dan mata
Cara kerja otot lurik
Bila otot lurik berkontraksi, maka menjadi pendek dan setiap serabut turut dengan berkontraksi. Otot-otot jeis ini hanya berkontraksi jika di rangsangan oleh rangsangan daraf sadar (otot valunter). Kerja otot lurik adalah bersifat sadar, karena itu disebut otot sadar, artinya bekerja menurut kemauan, karena itu di sebut otot sadar, artinya bekerja menurut kemauan atau perintah otak. Reaksi kerja otot lurik terhadap perangsang cepat tapi tidak tahan kelelahan.

3. Otot jantung
Otot jantung merupakan otot “istimewa”. Otot ini bentuknya seperti otot lurik perbedaanya ialah bahwa serabutnya bercabang dan bersambung satu sama lain. Berciri merah khas dan tidak dapat dikendalikan kemauan. Kontraksi tidak di pengaruhi saraf, fungsi saraf hanya untuk percepat atau memperlambat kontraksi karena itu disebut otot tak sadar. Otot jantung di temukan hanya pada jangtung (kor), mempunyai kemampuan khusus untuk mengadakan kontraksi otomatis dan gerakan tanpa tergantung pada ada tidaknya rangsangan saraf. Cara kerja otot jantung ini disebut miogenik yang membedakannya dengan neurogonik (Ville,1984).
B. Mekanisme Kerja Otot
Dibalik mekanisme otot yang secara eksplisit hanya merupakan gerak mekanik itu. Terjadilah beberapa proses kimiawi dasar yang berseri demi kelangsungan kontrakso otot. Hampir semua jenis makhluk hidup memilki kemampuan untuk melakukan pergerakan. Fenomena pergerakan ini dapat berupa transport aktif melalui membran, translokasi polimerase DNA sepanjang rantai DNA, dan lain-lain termasuk kontraksi otot.
C. Struktur Otot Lurik
Otot pengisi atau otot yang menempek pada sebagian besar tulang kita (=skeletal) tampak bergaris-garis atau berlurik-lurik jika dilihat melalui mikroskop. Otot tersebut terdiri dari banyak kumpulan (bundel) serabut paralel panjang dengan diameter penampang 20-100 m yang di sebut serat otot. Panjang serat otot ini mampu mencapai panjang serat otot ini mampu mencapai panjang otot itu sendiri dan merupakan sel-sel berinti jamak (=multinucleated cells). Serat otot sendiri tersusun dari kumpulan-kumpulan paralel seribu miofibril yang berdiameter 1-2 m dan memanjang sepanjang sebuah serat otot
Garis-garis pada otot lurik disebabkan oleh struktur miofibril-miofibril yang saling berkaitan. Pada gambar 2, terlihat bahwa lurik itu merupakan daerah dengan densitas / kepadatan yang silih berganti (antara padat dan renggang) dengan sebutan luriklurik A dan lurik-lurik I. Pola-pola itu berepetisi dengan teratur sehingga tiap satu unit pola dinamakan sarkomer.
Sarkomer memiliki panjang 2.5 - 3.0 m pada otot yang rileks dan akan memendek saat otot berkontraksi. Antara sarkomer satu dengan lainnya, terdapatlah lapisan gelap disebut disk Z (=piringan Z). Lurik A terpusat pada daerah terang yang dinamakan daerah H yang peusatnya terletak pada lurik / disk M. Jika kita melihat gambar 2 lebih teliti lagi, maka terdapat sekelompok filamen yang tebal dan filamen tipis.
Filamenfilamen tebal dengan diameter 150 Angstrom itu tertata secara paralel heksagonal dalam daerah yang disebut daerah H. Sementara itu filamen-filamen tipis dengan diameter 70 Angstrom memiliki ujung yang terkait langsung dengan disk Z. Daerah yang terlihat gelap pada ujung-ujung daerah A merupakan tempat relasi-relasi antara filamen tebal dan filamen tipis. Relasi-relasi ini berupa cross-bridges (=jembatan-silang) yang berselang secara teratur.
a. Filamen-filamen tebal tersusun dari Miosin
Filamen-filamen tebal pada vertebrata (makhluk hidup bertulang belakang) hampir sebagian besar tersusun dari sejenis protein yang disebut Miosin. Molekul miosin terdiri dari enam rantai polipeptida yang disebut rantai berat dan dua pasang rantai ringan yang berbeda (disebut rantai ringan esensial dan regulatori, ELC dan RLC). Miosin termasuk protein yang khusus karena memiliki sifat berserat (=fibrous) dan globular.
Secara umum, molekul miosin dapat dilihat sebagai segmen berbentuk batang sepanjang 1600 Angstrom dengan dua kepala globular. Miosin hanya berada dalam wujud molekul-molekul tunggal dengan kekuatan ioniknya yang lemah. Bagaimanapun juga, protein-protein ini berkaitan satu sama lain menjadi struktur
Struktur tersebut ialah struktur dari filamen tebal yang telah dibicarakan sebelumnya. Pada struktur itu, filamen tebal merupakan suatu bentuk yang bipolar dengan kepala-kepala miosin yang menghadap tiap-tiap ujung filamen dan menyisakan bagian tengah yang tidak memiliki kepala satupun (=bare zone / jalur kosong). Kepalakepala miosin itulah yang merupakan wujud dari cross-bridges dalam perhubungannya dengan miofibrilmiofibril. Sebenarnya, rantai berat miosin berupa sebuah ATPase yang menghidrolisis ATP menjadi ADP dan Pi dalam suatu reaksi yang membuat terjadinya kontraksi otot. Jadi, otot merupakan alat untuk mengubah energi bebas kimia berupa ATP menjadi energi mekanik. Sementara itu, fungsi rantai ringan miosin diyakini sebagai modulator aktivitas ATPase dari rantai berat yang bersambungan dengannya.
Di tahun 1953, Andrew Szent-Gyorgi menunjukkan bahwa miosin yang diberi tripsin secukupnya akan memecah miosin menjadi dua fragmen (Gambar 5) yaitu Meromiosin ringan (LMM) dan Meromiosin berat (HMM). HMM dapat dipecah dengan papain menjadi dua bagian lagi yaitu dua molekul identik dari subfragmen-1 (S1) dan sebuah subframen-2 (S2) yang berbentuk mirip batang.
b. Filamen-filamen tipis tersusun dari Aktin, Tropomiosin dan Troponin
Komponen penyusun utama filamen tipis ialah Aktin. Aktin merupakan protein eukariotik yang umum, banyak jumlahnya, dan mudah didapati. Aktin didapati dalam wujud monomer-monomer bilobal globular yang disebut G-aktin yang secara normal mengikat satu molekul ATP untuk tiap-tiap monomer. G-aktin itu nantinya akan berpolimerisasi untuk membentuk fiber-fiber yang disebut F-aktin. Polimerisasi ini merupakan suatu proses yang menghidrolisis ATP menjadi ADP dengan ADP yang nantinya terikat pada unit monomer F-aktin. Sebagai hasilnya, F-aktin akan membentuk sumbu rantai utama dari filamen tipis
Tiap-tiap unit monomer F-aktin mampu mengikat sebuah kepala miosin (S1) yang ada pada filamen tebal. Mikrograf elektron juga menunjukkan bahwa F-aktin merupakan deretan monomer terkait dengan urutan kepala ekor-kepala. Maka dari itu, F-aktin memiliki wujud yang polar. Semua unit monomer F-aktin memiliki orientasi yang sama dilihat dari sumbu fiber. Filamen-filamen tipis itu juga memiliki arah yang menjauhi disk Z. Sehingga kumpulan-kumpulan filamen tipis yang menjulur pada kedua sisi disk Z itu memiliki orientasi yang berlawanan.
Komposisi miosin dan aktin masing-masing sebesar 60-70% dan 20- 25% dari protein total pada otot. Sisa protein lainnya berkaitan dengan filamen tipis yakni Tropomiosin dan Troponin. Troponin terdiri dari tiga subunit yaitu TnC (protein pengikat ion Ca), TnI (protein yang mengikat aktin), dan TnT (protein yang mengikat tropomiosin). Dari sini, dapat disimpulkan bahwa kompleks tropomiosin - Troponin mangatur kontraksi otot dengan cara mengontrol akses cross-bridges S1 pada posisiposisi pengikat aktin.(Anonim, 2010)
c. Protein minor pada Otot yang mengatur jaringan-jaringan Miofibril
Disk Z merupakan wujud amorf dan mengandung beberapa protein berserat (fibrous). Protein-protein lain itu ialah -aktinin (untuk mengikatkan filamen-filamen tipis pada disk Z), desmin (banyak terdapat pada daerah perifer / tepi disk Z dan berfungsi untuk menjaga keteraturan susunan antar sesama miofibril), vimentin (bersifat sama dengan desmin), titin (merupakan polipeptida dengan massa terbesar, berada sepanjang filamen tebal sampai disk Z, dan berfungsi seperti pegas yang mengatur agar letak filamen tebal tetap di tengah-tengah sarkomer), dan nebulin (berada di sepanjang filamen tipis dan berfungsi untuk mempertahankan panjang filamen). Sementara itu, disk M yang merupakan hasil penebalan akibat sambungan filamen-filamen tebal itu juga mengandung C-protein dan Mprotein. Peranan kedua protein itu ada pada susunan atau perkaitan antara filamen-filamen tebal pada disk M.





 Mekanisme Kontraksi Otot
Setelah struktur otot dan komponen-komponen penyusunnya ditinjau, mekanismeatau interaksi antar komponenkomponen itu akan dapat menjelaskan proses kontraksi otot.
a. Filamen-filamen tebal dan tipis yang saling bergeser saat proses kontraksi
Menurut fakta, kita telah mengetahui bahwa panjang otot yang terkontraksi akan lebih pendek daripada panjang awalnya saat otot sedang rileks. Pemendekan ini rata -rata sekitar sepertiga panjang awal.
Melalui mikrograf elektron, pemendekan ini dapat dilihatsebagai konsekuensi dari pemendekan sarkomer. Sebenarnya, pada saat pemendekan berlangsung, panjang filamen tebal dan tipis tetap dan tak berubah (dengan melihat tetapnya lebar lurik A dan jarak disk Z sampai ujung daerah H tetangga) namun lurik I dan daerah H mengalami reduksi yang sama besarnya. Berdasar pengamatan ini, Hugh Huxley, Jean Hanson, Andrew Huxley dan R.Niedergerke pada tahun 1954 menyarankan model pergeseran filamen (=filament sliding). Model ini mengatakan bahwa gaya kontraksi otot itu dihasilkan oleh suatu proses yang membuat beberapa set filamen tebal dan tipis dapat bergeser antar sesamanya.
b. Aktin merangsang Aktivitas ATPase Miosin
Model pergeseran filamen tadi hanya menjelaskan mekanika kontraksinya dan bukan asal-usul gaya kontraktil. Pada tahun 1940, Szent-Gyorgi kembali menunjukkan mekanisme kontraksi. Pencampuran larutan aktin dan miosin untuk membentuk kom-pleks bernama Aktomiosin ternyata disertai oleh peningkatan kekentalan larutan yang cukup besar. Kekentalan ini dapat dikurangi dengan menambahkan ATP ke dalam larutan aktomiosin. Maka dari itu, ATP mengurangi daya tarik atau afinitas miosin terhadap aktin. Selanjutnya, untuk dapat mendapatkan penjelasan lebih tentang peranan ATP dalam proses kontraksi itu, kita memerlukan studi kinetika kimia. Daya kerja ATPase miosin yang terisolasi ialah sebesar 0.05 per detiknya. Daya kerja sebesar itu ternyata jauh lebih kecil dari daya kerja ATPase miosin yang berada dalam otot yang berkontraksi. Bagaimanapun juga, secara paradoks, adanya aktin (dalam otot) meningkatkan laju hidrolisis ATP miosin menjadi sekitar 10 per detiknya. Karena aktin menyebabkan peningkatan atau peng-akti-vasian miosin inilah, muncullah sebutan aktin. Selanjutnya, Edwin Taylor mengemukakan sebuah model hidrolisis ATP yang dimediasi / ditengahi oleh aktomiosin
Pada tahap pertama, ATP terikat pada bagian miosin dari aktomiosin dan menghasilkan disosiasi aktin dan miosin. Miosin yang merupakan produk proses ini memiliki ikatan dengan ATP. Selanjutnya, pada tahap kedua, ATP yang terikat dengan miosin tadi terhidrolisis dengan cepat membentuk kompleks miosin-ADP-Pi. Kompleks tersebut yang kemudian berikatan dengan Aktin pada tahap ketiga. Pada tahap keempat yang merupakan tahap untuk relaksasi konformasional, kompleks aktin-miosin-ADP-Pi tadi secara tahap demi tahap melepaskan ikatan dengan Pi dan ADP sehingga kompleks yang tersisa hanyalah kompleks Aktin-Miosin yang siap untuk siklus hidrolisis ATP selanjutnya. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa proses terkait dan terlepasnya aktin yang diatur oleh ATP tersebut menghasilkan gaya vektorial untuk kontraksi otot.
c. Model untuk interaksi Aktin dan Miosin berdasar strukturnya
Rayment, Holden, dan Ronald Milligan telah memformulasikan suatu model yang dinamakan kompleks rigor terhadap kepala S1 miosin dan Faktin. Mereka mengamati kompleks tersebut melalui mikroskopi elektron. Daerah yang mirip bola pada S1 itu berikatan secara tangensial pada filamen aktin pada sudut 45o terhadap sumbu filamen. Sementara itu, ekor S1 mengarah sejajar sumbu filamen. Relasi kepala S1 miosin itu nampaknya berinteraksi dengan aktin melalui pasangan ion yang melibatkan beberapa residu Lisin dari miosin dan beberapa residu asam Aspartik dan asam Glutamik dari aktin.
d. Kepala-kepala Miosin “berjalan” sepanjang filamen-filamen aktin
Hidrolisis ATP dapat dikaitkan dengan model pergeseran-filamen. Pada mulanya, kita mengasumsikan jika cross-bridges miosin memiliki letak yang konstan tanpa berpindah-pindah, maka model ini tak dapat dibenarkan. Sebaliknya, cross bridges itu harus berulangkali terputus dan terkait kembali pada posisi lain namun masih di daerah sepanjang filamen dengan arah menuju disk Z. Melalui pengamatan dengan sinar X terhadap struktur filamen dan kondisinya saat proses hidrolisis terjadi, Rayment, Holden, dan Milligan mengeluarkan postulat bahwa tertutupnya celah aktin akibat rangsangan (berupa ejeksi ADP) itu berperan besar untuk sebuah perubahan konformasional (yang menghasilkan hentakan daya miosin) dalam siklus kontraksi otot. Postulat ini selanjutnya mengarah pada model “perahu dayung” untuk siklus kontraktil yang telah banyak diterima berbagai pihak.
Pada mulanya, ATP muncul dan mengikatkan diri pada kepala miosin S1 sehingga celah aktin terbuka. Sebagai akibatnya, kepala S1melepaskan ikatannya pada aktin. Pada tahap kedua, celah aktin akan menutup kembali bersamaan dengan proses hidrolisis ATP yang menyebabkan tegaknya posisi kepala S1. Posisi tegak itu merupakan keadaan molekul dengan energi tinggi (jelas-jelas memerlukan energi). Pada tahap ketiga, kepala S1 mengikatkan diri dengan lemah pada suatu monomer aktin yang posisinya lebih dekat dengan disk Z dibandingkan dengan monomer aktin sebelumnya. Pada tahap keempat, Kepala S1 melepaskan Pi yang mengakibatkan tertutupnya celah aktin sehingga afinitas kepala S1 terhadap aktin membesar. Keadaan itu disebut keadaan transien. Selanjutnya, pada tahap kelima, hentakan-daya terjadi dan suatu geseran konformasional yang turut menarik ekor kepala S1 tadi terjadi sepanjang 60 Angstrom menuju disk Z. Lalu, pada tahap akhir, ADP dilepaskan oleh kepala S1 dan siklus berlangsung lengkap.

 Pengaturan untuk Kontraksi Otot
Gerakan otot lurik tentu dibawah komando atau suatu kontrol yang disebut impuls saraf motor.
a. Ca2+ mengatur Kontraksi Otot dengan proses yang ditengahi oleh Troponin dan Tropomiosin
Sejak tahun 1940, ion Kalsium diyakini turut berperan serta dalam pengaturan kontraksi otot. Kemudian, sebelum 1960, Setsuro Ebashi menunjukkan bahwa pengaruh Ca2+ ditengahi oleh Troponin dan Tropomiosin. Ia menunjukkan aktomiosin yang diekstrak langsung dari otot (sehingga mengandung ikatan dengan troponin dan tropomiosin) berkontraksi karena ATP hanya jika Ca2+ ada pula. Kehadiran troponin dan tropomiosin pada sistem aktomiosin tersebut meningkatkan sensitivitas sistem terhadap Ca2+. Di samping itu, subunit dari troponin, TnC, merupakan satu-satunya komponen pengikat Ca2+. Secara molekuler, proses kontraksi (Anonim,2010)
b. Impuls saraf melepaskan Ca2+ dari Retikulum Sarcoplasma
Sebuah impuls saraf yang tiba pada sebuah persambungan neuromuskular (= sambungan antara neuron dan otot) akan dihantar langsung kepada tiap-tiap sarkomer oleh sebuah sistem tubula transversal / T. Tubula tersebut merupakan pembungkus-pembungkus semacam saraf pada membran plasma fiber. Tubula tersebut mengelilingi tiap miofibril pada disk Z masing-masing.
Semua sarkomer pada sebuah otot akan menerima sinyal untuk berkontraksi sehingga otot dapat berkontraksi sebagai satu kesatuan utuh. Sinyal elektrik itu dihantar (dengan proses yang belum begitu dimengerti) menuju retikulum sarkoplasmik (SR). SR merupakan suatu sistem dari vesicles (saluran yang mengandung air di dalamnya) yang pipih, bersifat membran, dan berasaldari retikulum endoplasma. Sistem tersebut membungkus tiap-tiap miofibril hampir seperti rajutan kain. Membran SR yang secara normal non-permeabel terhadap Ca2+ itu mengandung sebuah transmembran Ca2+-ATPase yang memompa Ca2+ kedalam SR untuk mempertahankan konsentrasi [Ca2+] bagi otot rileks. Kemampuan SR untuk dapat menyimpan Ca2+ ditingkatkan lagi oleh adanya protein yang bersifat amat asam yaitu kalsequestrin (memiliki situs lebih dari 40 untuk berikatan dengan Ca2+). Kedatangan impuls saraf membuat SR menjadi permeabel terhadap Ca2+.Akibatnya, Ca2+ berdifusi melalui saluran-saluran Ca2+ khusus menuju interior miofibril, dan konsentrasi internal [Ca2+] akan bertambah. Peningkatan konsentrasi Ca2+ ini cukup untuk memicu perubahan konformasional dalam troponin dan tropomiosin. Akhirnya, kontraksi otot terjadi dengan mekanisme “perahu dayung” tadi. Saat rangsangan saraf berakhir, membran SR kembali menjadi impermeabel terhadap Ca2+ sehingga Ca2+ dalam miofibril akan terpompa keluar menuju SR. Kemudian otot menjadi rileks seperti sediakala.
.
 Otot Halus (Smooth Muscles)
Makhluk hidup vertebrata memiliki dua jenis otot selain otot lurik yaitu otot cardiac (=kardiak; berhubungan dengan jantung) dan otot halus. Otot cardiac ternyata juga berlurik-lurik sehingga mengindikasikan suatu persamaan antara otot cardiac dan otot lurik. Walaupun begitu, otot skeletal (lurik) dan otot cardiac masih memiliki perbedaan antar sesamanya terutama pada metabolismenya. Otot cardiac harus beroperasi secara kontinu sepanjang usia hidup dan lebih banyak tergantung pada metabolisme secara aerobik. Otot cardiac juga secara spontan dirangsang oleh otot jantung itu sendiri dibanding oleh rangsangan saraf eksternal (=rangsangan volunter). Di samping itu, otot halus berperan dalam kontraksi yang lambat, tahan lama, dan tanpa melalui rangsang eksternal seperti pada dinding usus, uterus, pembuluh darah besar. Otot halus disini memiliki sifat yang sedikit berbeda dibanding otot lurik. Otot halus atau sering dikatakan otot polos ini berbentuk seperti spindel, tersusun oleh sel sel berinti tunggal, dan tidak membentuk miofibril. Miosin dari otot halus (protein khusus secara genetik) berbeda secara fungsional daripada miosin otot lurik dalam beberapa hal:
o Aktivitas maksimum ATPase hanya sekitar 10% dari otot lurik
o Berinteraksi dengan aktin hanya saat salah satu rantai ringannya terfosforilasi
o Membentuk filamen-filamen tebal dengan cross-bridges yang tak begitu teratur serta tersebar di seluruh panjang filamen tebal
a. Kontraksi Otot Halus dipicu oleh Ca2+
Filamen-filamen tipis otot halus memang mengandung Aktin dan Tropomiosin namun tak seberapa mengandung Troponin. Kontraksi otot halus tetap dipicu oleh Ca2+ karena miosin rantai ringan kinase (=myosin light chain kinase / MLCK) secara enzimatik akan menjadi aktif hanya jika Ca2+-kalmodulin hadir. MLCK merupakan sebuah enzim yang memfosforilasi rantai ringan miosin sehingga menstimulasi terjadinya kontraksi otot halus. Proses kontraksi otot halus secara kimiawi.Konsentrasi intraselular [Ca2+] bergantung pada permeabilitas membran plasma sel otot halus terhadap Ca2+. Permeabilitas otot halus tersebut dipengaruhi oleh sistem saraf involunter atau autonomik. Saat [Ca2+] meningkat, kontraksi otot halus dimulai. Saat [Ca2+] menurun akibat pengaruh Ca2+- ATPase dari membran plasma, MLCK kemudian dideaktivasi. Lalu, rantai ringan terdefosforilasi oleh miosin rantai ringan phosphatase dan otot halus kembali rileks.
b. Aktivitas Otot Halus termodulasi secara Hormonal
Otot halus juga memberi tanggapan pada hormon seperti epinefrin. Pengaruh hormon tersebut juga dapat dilihat pada gambar 12. Tahap-tahap kontraksi yang terjadi pada otot halus ternyata lebih lambat daripada tahap-tahap yang terjadi untuk otot lurik. Jadi, struktur dan pengaturan kontrol otot halus tepat dengan fungsi yang diembannya yaitu pengadaan suatu gaya tegang selama rentang waktu cukup lama namun mengkonsumsi ATP dengan laju konsumsi rendah.
D. Perbandingan Otot Dari Tiap Vertebrata
a. Pisces
Sistem otot (urat daging): penggerak tubuh, sirip-sirip, insang-organ listrik (Sonic, 2008).
 Belut laut
Sistem otot:
Tubuh berupa lingkaran-lingkaran otot yang tersusun sebagai huru W. Corong bukal digerakan oleh otot-otot radial. Lidah digerakan oleh otot retraktor dan protraktor.
 Ikan hiu
Sistem otot:
Otot-otot di seluruh tubuh secara teratur bersegemen (materik) disebut miotom. Otot-otot itu bermodifikasi kepala dan di apendiks.
 Ikan perak
Sistem otot:
Otot tubuh dan ekor terutama terdiri dari miomer-miomer (otot-otot bersegmen) yang berselang-seling/berganti-ganti tempat dengan vertebra ketika mengadakan gerakan berenang dan berbalik arah. Miomer-miomer itu secara kasar berbentuk seperti hurup W dan dirakit menjadi 4 sabuk miomer, yang di sepanjang punggung merupakan rakitan yang terberat. Antara miomer-miomer itu terdapat jaringan ikatan yang jika direbus, sabuk-sabuk miomer itu terpisah-pisah menjadi lapisan-lapisan daging (Sonic, 2008).

b. Amphibi
Secara majemuk, sistem otot katak berbeda dari susunan mioton primitif, terutama dalam apendiks. Otot-otot segmental mencolok pada tubuh. Segmen kaki teratas berotot besar (Sonic, 2008).
c. Reptilia
Dibandingkan dengan katak, sistem otot buaya itu lebih rumit, karena gerakannya lebih kompleks. Otot-otot kepala, leher, dan kaki tumbuh baik, walaupun kurang jika dibandingkan pada mammalia. Segmentasi otot jelas pada kolumna vertebralis dan
rusuk (Sonic, 2008) .
d. Aves
Tulang kuadrat dari tengkorak mempunyai 2 permukaan artikular dorsal. Semua tulang pelvis bersatu. Ada sebuah pigostil. Sternum mempunyai 4 buah tekik (celah) posterior. Otot pektoralis mayor dimulai pada lunas tulang sternum, dan menarik tulang humerus kebawah (berarti menarik sayap ke bawah). Sebaliknya, otot pektoralis minor menarik sayap ke atas (Sonic, 2008).
e. Mamalia
Tulang kuadrat dari tengkorak mempunyai 2 permukaan artikular dorsal. Semua tulang pelvis bersatu. Ada sebuah pigostil. Sternum mempunyai 4 buah tekik (celah) posterior. Otot pektoralis mayor dimulai pada lunas tulang sternum, dan menarik tulang humerus kebawah (berarti menarik sayap ke bawah). Sebaliknya, otot pektoralis minor menarik sayap ke atas (Sonic, 2008).


BAB III
KESIMPULAN
Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis jaringan di bagi menjadi 3 macam yaitu otot polos, otot jantung, dan otot lurik. Dari ketiga jenis otot tersebut mempunyai cara kerja yang berbeda. Selain itu, dalam mekanisme kontraksi otot, terdapat Filamen-filamen tebal dan tipis yang saling bergeser saat proses kontraksi, Aktin merangsang Aktivitas ATPase Miosin Model untuk interaksi Aktin dan Miosin berdasar strukturnya dan Kepala-kepala Miosin “berjalan” sepanjang filamen-filamen aktin





KERJA OTOT LURIK
• Otot rangka adalah masa otot yang bertaut pada tulang yang berperan dalam menggerakkan tulang-tulang tubuh.
MEKANISME OTOT LURIK/OTOT RANGKA
• Mekanisme kerja otot pada dasarnya melibatkan suatu perubahan dalam keadaan yang relatif dari filamenfilamen aktin dan myosin.
• Selama kontraksi otot, filamen-filamen tipis aktin terikat pada dua garis yang bergerak ke Pita A, meskipun filamen tersebut tidak bertambah banyak.
• Gerakan pergeseran itu mengakibatkan perubahan dalam penampilan sarkomer, yaitu penghapusan sebagian atau seluruhnya garis H.
• Filamen myosin letaknya menjadi sangat dekat dengan garis-garis Z dan pita-pita A
• Lebar sarkomer menjadi berkurang sehingga terjadi kontraksi
• Kontraksi berlangsung pada interaksi antara aktin miosin untuk membentuk komplek aktin-miosin.
Mekanisme Kontraksi Otot
• Pergeseran filamen dijelaskan melalui mekanisme kontraksi pencampuran aktin dan miosin membentuk kompleks akto-miosin yang dipengaruhi oleh ATP.
• Miosin merupakan produk, dan proses tersebut mempunyai ikatan dengan ATP.
• Selanjutnya ATP yang terikat dengan miosin terhidrolisis membentuk kompleks miosin ADP-Pi dan akan berikatan dengan aktin.
• Selanjutnya tahap relaksasi konformasional kompleks aktin, miosin, ADP-pi secara bertahap melepaskan ikatan dengan Pi dan ADP, proses terkait dan terlepasnya aktin menghasilkan gaya fektorial

Kontraksi otot dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1. Treppe atau staircase effect, yaitu meningkatnya kekuatan kontraksi berulang kali pada suatu serabut otot karena stimulasi berurutan berseling beberapa detik. Pengaruh ini disebabkan karena konsentrasi ion Ca2+ di dalam serabut otot yang meningkatkan aktivitas miofibril.
2. Summasi, berbeda dengan treppe, pada summasi tiap otot berkontraksi dengan kekuatan berbeda yang merupakan hasil penjumlahan kontraksi dua jalan (summasi unit motor berganda dan summasi bergelombang).
3. Fatique adalah menurunnya kapasitas bekerja karena pekerjaan itu sendiri.
4. Tetani adalah peningkatan frekuensi stimulasi dengan cepat sehingga tidak ada peningkatan tegangan kontraksi.
5. Rigor terjadi bila sebagian terbesar ATP dalam otot telah dihabiskan, sehingga kalsium tidak lagi dapat dikembalikan ke RS melalui mekanisme pemompaan.
ini uraian secara sederhana

JADI
Beketjanya otot lurik secara sederhana demikian
• Rangsangan pada sebuah saraf motorik ( yang mensarafi serabut otot) pada ujung saraf motorik mensekresi neurotransmiter Asetilkolin.
• Asetilkolin akan menyebabkan retikulum sarkoplasmik melepaskan sejumlah ion kalsium ( yang tersimpan dalam RS) kedalam miofibril.
• Ion kalsium dan pembongkaran ATP yang menghasilkan energi menimbulkan kekuatan menarik filamen aktin dan miosin,yang menyebabkan gerakan bersam-sama sehingga menghasilkan proses kontraksi.
• Kemudian dalan satu detik ion kalsium dipompa kembali kedalam retikulum sarkoplasmik tempat ion kalsium disimpan. K
• embalinya ion kalsium ini menyebabkan kontrasi otot berhenti.
• Otot tidak pernah istirahat benar,meskipun keliatannya demikian.
• Pada hakekatnya mereka selalu berada dalam keadaan tonus otot,yang berarti siap untuk bereaksi terhadap rangsangan.
• Misalnya ketokan pada tendo patella mengakibatkan kontraksi dari extensor quadrisep femoralis dan sedikit rangsangan sendi lutut.
• Sikap tubuh ditentukan oleh tingkat tonus.

Selasa, 12 Juli 2011

fisiologi pasca panen ( indeks )

Diposting oleh renaex di 17.46 0 komentar
I.PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Proses pematangan buah pisang merupakan proses pengakumulasian gula dengan merombak pati menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tidak seperti buah pada umumnya yang mengakumulasi gula secara langsung dari pengiriman asimilat hasil fotosintesis di daun yang umumnya dikirim ke organ lain dalam bentuk sukrosa. Pertumbuhan buah pisang ditunjukkan oleh perubahan panjang dan lingkar buah yang cepat. Selama pertumbuhan buah, berat buah pisang secara individual terus meningkat. Pada saat masak, berat buah dipertahankan selama 2-4 hari, kemudian mulai menurun bersamaan dengan perubahan warna kulit pada saat mulai masak. Berat daging buah sangat rendah pada awal pertumbuhan buah, sedang berat kulit buah sangat tinggi. Dengan semakin masak buah, berat daging buah semakin meningkat, sedang berat kulit berangsur-angsur. Penurunan ini mungkin karena adanya selulose dan hemiselulose di kulit yang dikonversi ke pati selama penuaan buah. Isndikasi ini nampak bahwa setelah 15 hari pertumbuhan buah pisang jenis Cavendis, ratio daging buah terhadap kulit 0,41 dan sesudah 130 hari meningkat menjadi 1,90. Konsentrasi pati pada daging buah meningkat sampai 70 hari pada masa pertumbuhan buah pisang dan kemudian menurun. Kandungan pati pada buah pisang yang belum masak 20-25% dari total berat segarnya dan sekitar 2-5% saja yang mampu diubah menjadi gula dan sebagian dilepas dalam bentuk gas CO2 melalui proses respirasi. Pada awal pertumbuhan buah konsentrasi gula total, gula reduksi dan bukan reduksi sangat rendah. Tetapi saat proses pemasakan, gula total meningkat tajam dalam bentuk glukosa dan fruktosa. Naiknya kadar gula yang tiba-tiba ini dapat digunakan sebagai indeks kimia.

1.2.Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dari praktikum “Waste indek “ ini, yaitu untuk mengetahui indeks pemasakan khususnya pada buah pisang dan sayur kankung selain itu praktikum ini juga mengajarkan agar kita mengetahui proses atau mekanisme pemasakan buah dan sayur.
Sedangkan kegunaan melakukan praktikum “waste indeks” yaitu adalah mengetuhi fungsi dari indeks pemasakan buah dan sayur dan dapat jika mengetahui bagaimana etilen bekerja di dalam buah pisang dan sayur kankung.

1.3.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada praktikum ini yaitu :
Bagaimana mekanisme waste indeks pemasakan buah pisang dan sayur kankung.
Mekanisme etilen pada buah mangga dan sayur kankung

Pada saat pemasakan buah terjadi peningkatan respirasi, produksi etilen serta terjadi akumulasi gula, perombakan klorofil dan senyawa lain sehingga buah menjadi lunak (Quazi dan Freebairn, 1970; Krishnamoorthy, 1981). Dikatakan pula oleh Matto et al., 1975, bahwa pelunakan buah disebabkan juga oleh degradasi protopektin tidak larut menjadi pektin yang larut atau oleh hidrolisis pati dan hidrolisis lemak (Krishnamoorthy, 1981)..
Kecepatan laju respirasi buah akan meningkat dengan meningkatnya suhu, pada suhu 35oC laju respirasi ini akan meningkat tajam, walaupun pada suhu tersebut produksi etilen terhenti (Krishnamoorthy, 1981). Selama pemasakan, pektin yang tidak larut air berkurang dari 0,5% menjadi 0,2%, berat basah dari pektin yang larut air meningkat, kandungan selulosa dan hemiselulosa menurun (Bennet et al, 1987; Quazi dan Freebairn, 1970). Peranan mitokondria pada proses pemasakan buah penting dalam hal respirasi yang mampu menyediakan energi ATP yang akan digunakan untuk membentuk UDP-glukose sebagai penyedia substrat untuk sintesis sukrosa (Solomos dan Laties, 1983). Sebagaimana dijelaskan oleh Anderson dan Beardall, 1991, sukrosa disintesis lewat UDP dan glukosa dalam sitosol. Dari triosa fosfat akan membentuk fruktosa 1,6 difosfat dengan dikatalisis oleh enzim aldolase yang kemudian oleh aktivitas fosfatase menghasilkan fruktosa 6P, yang akan mengalami konfigurasi struktur molekul oleh enzim heksosa-isomerase dan glukosa-P mutase menghasilkan glukosa-1P, lebih lanjut akan membentuk UDP-glukose dengan tersedianya UTP dan dikatalisis oleh UDP glukose pirofosforilase. UDP glukosa akan bergabung dengan fruktosa-6P yang telah terbentuk sebelumnya menghasilkan sukrose 6P yang dikatalisis oleh Sucrose Phosphate Synthase (SPS).
Sukrosa juga dapat dibentuk lewat pemecahan pati (Anderson dan Beardall, 1991). Penggabungan karbon berlangsung di dalam jaringan fotosintetik (kloroplas) dan dalam jaringan non fotosintetik (amiloplas). Keberadaan pati di dalam jaringan tersebut tidak dalam periode yang panjang. Bila ekspor triosefosfat ke sitosol tidak dapat diteruskan oleh asimilasi CO2 misal pada waktu malam, maka proses pematangan buah pisang merupakan proses pengakumulasian gula dengan merombak pati menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tidak seperti buah pada umumnya yang mengakumulasi gula secara langsung dari pengiriman asimilat hasil fotosintesis di daun yang umumnya dikirim ke organ lain dalam bentuk sukrosa (Anderson dan Beardall, 1991). Pertumbuhan buah pisang ditunjukkan oleh perubahan panjang dan lingkar buah yang cepat. Selama pertumbuhan buah, berat buah pisang secara individual terus meningkat. Pada saat masak, berat buah dipertahankan selama 2-4 hari, kemudian mulai menurun bersamaan dengan perubahan warna kulit pada saat mulai masak. Berat daging buah sangat rendah pada awal pertumbuhan buah, sedang berat kulit buah sangat tinggi. Dengan semakin masak buah, berat daging buah semakin meningkat, sedang berat kulit berangsur-angsur menurun (Lodth dan Pantastico, 1975).

Penurunan ini mungkin karena adanya selulose dan hemiselulose di kulit yang dikonversi ke pati selama penuaan buah. Indikasi ini nampak bahwa setelah 15 hari pertumbuhan buah pisang jenis Cavendis, ratio daging buah terhadap kulit 0,41 dan sesudah 130 hari meningkat menjadi 1,90. Konsentrasi pati pada daging buah meningkat sampai 70 hari pada masa pertumbuhan buah pisang dan kemudian menurun. Kandungan pati pada buah pisang yang belum masak 20-25% dari total berat segarnya dan sekitar 2-5% saja yang mampu diubah menjadi gula dan sebagian dilepas dalam bentuk gas CO2 melalui proses respirasi. Pada awal pertumbuhan buah konsentrasi gula total, gula reduksi dan bukan reduksi sangat rendah. Tetapi saat proses pemasakan, gula total meningkat tajam dalam bentuk glukosa dan fruktosa. Naiknya kadar gula yang tiba-tiba ini dapat digunakan sebagai indeks kimia (Pantastico, 1973)
Pada saat pemasakan buah terjadi peningkatan respirasi, produksi etilen serta terjadi akumulasi gula, perombakan klorofil dan senyawa lain sehingga buah menjadi lunak (Quazi dan Freebairn, 1970; Krishnamoorthy, 1981). Dikatakan pula oleh Matto et al., 1975, bahwa pelunakan buah disebabkan juga oleh degradasi protopektin tidak larut menjadi pektin yang larut atau oleh hidrolisis pati dan hidrolisis lemak.
Kecepatan laju respirasi buah akan meningkat dengan meningkatnya suhu, pada suhu 35oC laju respirasi ini akan meningkat tajam, walaupun pada suhu tersebut produksi etilen terhenti (Krishnamoorthy, 1981). Selama pemasakan, pektin yang tidak larut air berkurang dari 0,5% menjadi 0,2%, berat basah dari pektin yang larut air meningkat, kandungan selulosa dan hemiselulosa menurun (Bennet et al, 1987; Quazi dan Freebairn, 1970). Peranan mitokondria pada proses pemasakan buah penting dalam hal respirasi yang mampu menyediakan energi ATP yang akan digunakan untuk membentuk UDP-glukose sebagai penyedia substrat untuk sintesis sukrosa (Solomos dan Laties, 1983). Sebagaimana dijelaskan oleh Anderson dan Beardall, 1991, sukrosa disintesis lewat UDP dan glukosa dalam sitosol. Dari triosa fosfat akan membentuk fruktosa 1,6 difosfat dengan dikatalisis oleh enzim aldolase yang kemudian oleh aktivitas fosfatase menghasilkan fruktosa 6P, yang akan mengalami konfigurasi struktur molekul oleh enzim heksosa-isomerase dan glukosa-P mutase menghasilkan glukosa-1P, lebih lanjut akan membentuk UDP-glukose dengan tersedianya UTP dan dikatalisis oleh UDP glukose pirofosforilase. UDP glukosa akan bergabung dengan fruktosa-6P yang telah terbentuk sebelumnya menghasilkan sukrose 6P yang dikatalisis oleh Sucrose Phosphate Synthase (SPS).
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Komoditi buah
Buah pisang termasuk buah klimakterik. Prosespemasakannya diiringi laju respirasi dan laju produksi etilena yang relatif tinggi (Kader 1992). Berbagai perubahan fisik dan kimia mengikuti proses pemasakannya di antaranya pelunakan buah, peningkatan kandungan gula, perubahan warna kulit buah, dan peningkatan laju respirasi dan laju produksi etilena. Seperti halnya buah-buahan klimakterik lainnya, proses pemasakan tidak dapat dihentikan, tetapi dapat diperlambat sehingga daya simpan buah dapat diperpanjang. Salah satu cara yang akhir-akhir ini dilaporkan dapat memperlambat proses pemasakan ialah pemakaian poliamina. Poliamina adalah zat pengatur tumbuh yang secara alami ditemukan pada sel tanaman (Galston & Kaur-Sawhney 1995, Kumar et al. 1997, Walden et al. 1997).
Poliamina yang umum ditemukan pada tanaman ialah putresina, spermidina, dan spermina. Selain peranannya dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, poliamina dikenal sebagai zat antisenesen yang dapat digunakan untuk menghambat proses pemasakan buah, mempertahankan kekerasan buah tomat . Bila ekspor triosefosfat ke sitosol tidak dapat diteruskan oleh asimilasi CO2 misal pada waktu malam, maka pati akan dimobilisasikan dan diekspor. Umumnya produksi triose P dari pati ditimbulkan oleh suatu kondisi di mana ratio ATP/ADP menurun yang biasanya terkait dengan rendahnya triose P dan meningkatnya konsentrasi Pi. Mobilisasi pati ke sukrose umumnya lewat “starch phosphorilase” dan enzim lain. Katalisis oleh “starch phosphorilase” menghasilkan glukosa-1P yang lebih lanjut akan diubah menjadi glukosa 6P dan fruktosa 6P oleh enzim glukose P mutase dan heksose isomerase. Dari glukose 1P juga akan dihasilkan UDP glukose oleh UDP glukose pirofosforilase dengan terbentuknya UTP. UDP glukose akan bergabung dengan fruktose 6P menghasilkan sukrose 6P yang dikatalisis oleh SPS. Namun suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa proses respirasi buah klimakterik ini meningkat hanya pada waktu awal pemasakan (ripening) sampai mencapai puncak klimakterik yang selanjutnya segera diikuti penurunan yang tajam sehingga tidak cukup energi ATP yang dihasilkan sampai buah mudah terinvasi oleh mikroorganisme (Krishnamoorthy, 1981).




2.2.Komoditi Sayur
Susunan buah sayur – sayuran tropika yang tipe dalam perdagangan sangat beraneka ragam .Didalamnya termasuk 16 suku untuk buah –buahan dan sejumlah yang kurang lebih sama dengan sayur – sayuran .Meskipun pada hakekatnya hanya ada dua tipe sayur yaitu berdaun atau kah berdaging , namun dalanm susunana anatominya menjadi lebih sulit , bila yang dihadapi adalah sayur majemuk seperti yang kita amati pada tanaman kankung .Kankung merupakan komoditi sayur yang sangat mudah tumbuh di daerah yang mana saja.Indeks kematangan kankung memiliki fase yang cepat hal ini dikarenakan perkembanagan tanaman ini sangat lah cepat selain itu jumlah klorofil pada daun kankung mengandung nitrogen yang tinggi sehingga kematangan tanaman ini sangatlah cepat sehingga perkemabangan tanaman ini juga sangat cepat.Fase respirasi pada sayur kankung juga sangat cepat sehingga hormone etilen yang bekerja di dalam sayur ini sangat cepat inilah yang membuat indeks kematanagan buaha ini sangat cepat. Selain itu kankung juga merupakan komoditi sayur yang jenisnya sangat digemari hal ini dikarenakan perbanyakan sayur kankung juga sangat cepat (Anonim, 2011).




DAFTAR PUSATA
Anonim, 2011. Indeks kematangan pada komoditi sayur dan
buah.http://www.wikepedia.com.Diakses pada tanggal 14 april 2011 pukul 23.16 WITA . Makassar

Anonim, 2011. Fisiologi buha dan sayur tropika .http://
Herianto.blogspot.com.Diakses tanggal 14 april 2011 pukul 23 :34 WITA. Makassar

Krishnamoorthy, 1981 .Fisiologi Pasca panen. Grafindo: Jakarta
Er.B.Pantastico, 1973. Fisiologi pasca panen Penaganan buah dan sayur tropika dan
sutropika.Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Joses Walden, 1997. Teknik Pra panen dan pasca panen. IPB Press: Bogor







V.KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka kita dapat menyimpulkan bahwa
Indeks kematangan buah pisang dan sayur kankung dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal
Buah pisang memilki indeks kematangan yang lenih cepat dibandingkan buah lain hal ini karenakan hormone etilen yang bekerja pada jaringan buah pisang tersebar
Sayur kankung memiliki tingkat respirasi yang tinggi dan klorofil pada daun yang banyak.
5.2.Saran
Dalam praktikum ini masih banyak hal – hal yang harus diperbaiki , sehingga kiranya kerja sama antar praktikan itu sangat diperlukan.




I.PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Mutu buah-buahan dan sayur-sayuran tidak dapat diperbaiki tapi dapat dipertahankan. Mutu yang baik diperoleh bila pemanen hasil dilakukan dengan tingkat kemasakan yang tepat. Buah yang belum masak, bila dipungut akan menghasilkan mutu jelek dan proses pematangan yang salah. Begitu pula bila sayur-sayuran dipungut terlalu awal, dapat lebih lama tinggal hijau namun mutunya jelek. Sebaliknya, penundahan waktu pemungutan buah-buahan dan sayur-sayurann akan meningkatkan kepekaan buah dan sayur-sayuran itu terhadap pembusukan akibatnya mutu dan nilai jualnya rendah.
Dalam beberapa hal, bila hasil harus dikirim kepasar yang jauh letaknya atau harus disimpan untuk menunggu harga yang lebih baik, pemanenan harus dilakukan pada keadaan sudah tua tetapi belum masak. Disinilah letak kesukarannya, sebab berbeda denga tingkat-tingkat kemasakan, batas antara stadium masih muda dan sudah tua sukar ditentukan. Perubahan dalam ketegaran dan warna tidak ada. Sering kali petunjuk waktu pemanenan menjadi mana suka dan subjektif. Pendekatannya ialah dengan mengombinasikan beberapa cara dalam menentukan keadaan sudah tua
Teknologi pasca panen selain menentukan mutu juga akan menentukan jumlahkehilangan. Di dalam tahapan pasca panen selalau terjadi kehilangan dan kerusakan hasil,sehingga dapat mengurangi jumlah dan mutu produksi. Bentuk kehilangan pasca panen antaralain susut bobot, kebusukan, penurunan secara fisik dan penurunan daya tarik. Kondisi ini akan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Kegiatan pasca panen buah jeruk terdiri dari sortasi, pengemasan, penyimpanan pengangkutan dan pengolahan yang kesemuanya saling berhubungan.
1.2.Tujuan dan kegunaan
Adapun tujuan dari praktikum “Kerapatan jaringan buah dan sayur” ini, yaitu untuk mengetahui tingkat kerapatan jaringan khususnya pada buah pisang dan sayur kankung selain itu praktikum ini juga mengajarkan agar kita mengetahui proses atau mekanisme pemasakan buah dan sayur.
Sedangkan kegunaan melakukan praktikum “Kerapatan jaringan buah dan sayur” yaitu adalah mengetuhi mekanisme akan jaringan buah dan sayur pada fase pra panen dan pasca panen baik buah pisang maupun buah kankung.
1.3.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada praktikum ini yaitu :
Bagaimana mekanisme kerapatan jaringan pemasakan buah pisang dan sayur kangkung.
Mekanisme etilen pada buah mangga dan sayur kangkung



II.TINJAUAN PUSATAKA
Pisang yang ditanam secara komersil dipanen dalam keadaan hijau pada berbagai tingkat kemasakan. Bila harus diangkut ketempat yang jauh, pisang itu dipetik dalam keadaan kurang masak kira – kira 75 – 80 % masak yang sudah menampakkan sudut – sudutnya yang jelas dan yang akan matang dalam kira – kira 3 minggu. Pisang untuk pengapalan antar pulau dipetik dalam keadaan 85% - 90% masak. Buah – buahan itu sudah berkembang penuh namun sudut – sudut buahnya masih ,Nampak nyata buah – buahan akan matang dalam 1 – 2 minggu. Untuk pemasaran setempat atau dekat – dekat saja, buah di petik dalam keadaan lebih masak lagi. Yang akan matang dalam waktu kurang dari seminggu(Anonim, 2011).
Penanganan pasca panen (postharvest) sering disebut juga sebagai pengolahan primer (primary processing) merupakan istilah yang digunakan untuk semua perlakuan dari mulai panen sampaikomoditas dapat dikonsumsi “segar” atau untuk persiapan pengolahan berikutnya. Umumnya perlakuan tersebut tidak mengubah bentuk penampilan atau penampakan, kedalamnya termasuk berbagai aspek dari pemasaran dan distribusi. Pengolahan (secondary processing) merupakan tindakan yang mengubah hasil tanaman ke kondisi lain atau bentuk lain dengan tujuan dapat tahan lebih lama (pengawetan), mencegah perubahan yang tidak dikehendaki atau untuk penggunaan lain. Ke dalamnya termasuk pengolahan pangan dan pengolahan industry (Pantastico, 1973).
Penanganan pasca panen bertujuan agar hasil tanaman tersebut dalam kondisi baik dan sesuai/tepat untuk dapat segera dikonsumsi atau untuk bahan baku pengolahan. Prosedur/perlakuan dari penanganan pasca panen berbeda untuk berbagai bidang kajian (Krishnamoorthy, 1981).
Dalam kerapatan jaringan pada buah pisang ada beberapa yang mempengaruhi salah satunya meliputi perlakuan sortasi di tingkat pedagang pengumpul dilakukan secara manual yaitu dengan cara memisahkan jeruk besar, sedang dan kecil yang digolongkan dengan kelas B, C dan D. dengan demikian pada saat di pasaran maka harga jual akan berbeda karena sudah digolongkan dengan kelas serta perbedaan kualitas buahnya. Pengkelasan buah jeruk ada 4 ukuran didasarkan pada diameter buah yang berukuran diatas 7,0 cm (kelas A), antara 5,7-6,5 cm (kelas B), ukuran antara 5,0-5,6 cm (kelas C) dan lebih kecil 5,0 cm adalah kelas D. Dari sejumlah petani produsen jeruk ada yang melakukan sortasi buah sebelum dijual ke pengumpul yang menghendaki harga jual ada perbedaan antara buah besar dan kecil, namun ini merupakan pekerjaan tambahan bagi para petani. Perbandingan petani yang melakukan pengkelasan dan tidak adalah 85 : 15, yakni 85% petani menjual langsung secara borongan tanpa memperhatikan besar kecilnya buah jeruk, sedangkan yang 15% melakukan pengklasan karena menginginkan harga jual lebih tinggi dan pelaksanaan panen lebih lambat (Anonim,2011).
Perlakuan penyimpanan sementara dilakukan dengan cara menumpuk diatas lantai atau hamparan plastik sambil menunggu hasil panen yang lain, baru kemudian diangkut ke pasar. Pengemasan dilakukan dalam karung untuk memudahkan pengangkutan, namun untuk buah yang akan dikirim ke luar daerah, dilakukan pengepakan dalam peti kayu berukuran 40 x 60 cm. Selain itu ada petani yang merangkap pengumpul yang langsung menjual ke pasar secara eceran pada pedagang lainnya di pasar pagi.Ini merupakan salah satu cara yang sangat efektif dalam pengokahan sel jaringan sehingga kerapatan lebih optimal (Walden, 1997).





III.METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1.Waktu dan Tempat
Praktikum kerapatan jaringan dilaksanakan pada hari sabtu , 9 April 2011, bertempat di lab.1 jurusan Agronomi fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
3.2.Alat dan bahan
Alat – alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan , pisau , gelas ukuran dan alat tulis menulis .Sedangkan bahan – bahan yang digunakan bahan – bahan yang digunakan adalah pisang , kankung dan air secukupnya.
3.3.Prosedur kerja
3.3.1.Pisang
1. Menimbang berat pisang menggunakan timbangan lalu catat hasilnya .
2. memasukkan pisang ke dalam Erlenmeyer.
3. Masukkan pisang ke dalam Erlenmeyer sampai pisang tenggelam dan terbaca pada skala tertentu Erlenmeyer.
4. mengangkat pisang lalu menghitung volume pisang dengan rumus :
V pisang = V air dengan pisang – V air tanpa pisang
5. Menentukan tingkat kerapatan jaringan dengan rumus :
Kerapatan jaringan = berat pisang
Volume pisang


3.3.2. Kangkung
1. Menimbang berat kangkung menggunakan timbangan lalu catat hasilnya
2. memasukkan kangkung ke dalam Erlenmeyer.
3.memasukkan air ke dalam sampai kangkung tenggelam dan terbaca pada skala tertentu Erlenmeyer.
4. mengangkat kankung lalu menghitung volume kangkung dengan rumus :
V kankung = V air dengan kankung – V air tanpa kankung
5. Menentukan tingkat kerapatan jaringan dengan rumus :
Kerapatan jaringan = berat kangkung
Volume kangkung







IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Hasil
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berilkut :
Volume kankung =
Massa kerapatan kankung =
Massa kerapatan pisang =


V.KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan , dapat disimpulkan
Kerapatan jaringan tiap komoditi buah dan sayur memilki perbedaan yang besar.
Keraparan jaringan pisang adalah
Kerapatan jaringan kankung adalah
5.2.Saran
Dalam praktikum ini masih banyak hal – hal yang harus diperbaiki , sehingga kiranya kerja sama antar praktikan itu sangat diperlukan.

Pertanian Berkelanjutan

Diposting oleh renaex di 17.35 2 komentar
PERTANIAN BERKELANJUTAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONSERVASI TANAH

pertanian berkelanjutan meliputi komponen-komponen fisik, biologi dan sosioekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian.
Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input) secara khusus ditulis oleh Franklin H. King dalam bukunya Farmers of Forty Centuries. King membandingkan penggunaan input minimal dan pendekatan berkelanjutan pada pertanian daratan Timur (oriental) dengan apa yang dia lihat sebagai kesalahan metoda yang digunakan petani Amerika. Gagasan King adalah bahwa sistem pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal.
Baru-baru ini, Undang-undang Produktivitas Pertanian Amerika, yang merupakan bagian dari Undang-undang Keamanan Pangan 1985, menyediakan kewenangan untuk melaksanakan program riset dan pendidikan pada sistem pertanian alternatif -yang kemudian dikenal sebagai pertanian berkelanjutan dengan input minimal (Low Input Sustainable Agriculture (LISA)). Pada bulan Desember 1987, Kongres Amerika menyetujui US $ 3,9 juta untuk memulai pekerjaan tersebut atas dasar undang-undang Keamanan Pangan. Undang-undang tersebut memberikan mandat untuk melakukan investigasi ilmiah pada a) peningkatan produktivitas pertanian, b) produktivitas lahan sentra produksi, c) mengurangi erosi tanah, kehilangan air dan nutrisi, dan d) melakukan konservasi sumberdaya natural dan energi.
Petani Amerika saat ini sedang mencari sumberdaya yang efisien, biaya lebih rendah, dan sistem-sistem produksi yang lebih menguntungkan. Siapapun yang bergerak di bidang pertanian seharusnya berbagi kepedulian yang lebih luas pada masyarakat dalam mendukung lingkungan yang bersih dan nyaman. Selama sepuluh tahun terakhir, telah terjadi paradigma yang mengangkat masyarakat pertanian dari kondisi yang mengharuskan produktivitas lebih tinggi menuju suatu kondisi masyarakat yang peduli pada keberlanjutan. Hal ini dirasakan sebagai suatu kesalahan bahwa produktivitas yang tinggi dari kegiatan pertanian konvensional telah menimbulkan biaya kerusakan yang cukup siginifikan terhadap lingkungan alam dan disrupsi masalah sosial.
Dalam usaha mengalihkan konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian konvensional, beberapa format sistem pertanian berkelanjutan yang berbeda telah direkomendasikan sebagai alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan sistem produksi pertanian yang dapat menguntungkan secara ekonomi dan aman secara lingkungan. Kepentingan dalam sistem pertanian alternatif ini sering dimotivasi dengan suatu keinginan untuk menurunkan tingkat kesehatan lingkungan dan kerusakan lingkungan dan sebuah komitmen terhadap manajemen sumberdaya alam yang berkeadilan. Tetapi kriteria yang paling penting untuk kebanyakan petani dalam mempertimbangkan suatu perubahan usaha tani adalah keingingan memperoleh hasil yang layak secara ekonomi.
Adopsi terhadap metode pertanian alternatif yang lebih lebar ini membutuhkan bahwa metode tersebut sedikitnya sama kualitasnya dalam memperoleh keuntungan dengan metode konvensional atau memiliki keuntungan-keuntungan non-keuangan yang signifikan, seperti sebagai usaha menjaga penurunan kualitas sumberdaya air dan tanah secara cepat.
Riset dan pendidikan bergerak terbatas diantara para peneliti atau mahasiswa. Sebagaimana seorang mahasiswa menjadi lebih baik diberikan pendidikan mengenai pengetahuan praktis pertanian berkelanjutan, lebih memiliki minat dan dana akan ditingkatkan untuk mendukung riset selanjutnya.
Jaminan peneliti dan ketersediaan dana penelitian ini akan lebih memberikan harapan untuk meningkatkan minat pada pendidikan yang memandu riset selanjutnya secara umum. Pooling pendapat yang dilakukan mahasiswa di sejumlah fakultas seluruh Amerika menunjukkan ketertarikan pada pertanian berkelanjutan. Kebanyakan mereka mempertanyakan masalah-masalah pertanian berkelanjutan sebagai sebuah pemikiran yang tidak dapat diadopsi dalam program agroekologi. Mereka memberikan komentar bahwa penurunan dampak lingkungan akibat usaha pertanian berkelanjutan sebagai sebuah keuntungan yang besar dari meninggalkan usaha pertanian konvensional. Lebih banyak riset yang dilakukan pada pertanian berkelanjutan ini, program-program pendidikan yang lebih baik akan dapat dilaksanakan di wilayah ini.
Ketika perubahan dari kegiatan pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan dilaksanakan, perubahan sosial dan struktur ekonomi juga akan terjadi. Pada saat input menurun, terdapat hubungan yang menurun pula pada hubungan kerja terhadap mereka yang selama ini terlibat dan mendapatkan manfaat dari pertanian konvensional. Hasilnya adalah terdapat banyak kemungkinan yang dapat ditemukan yaitu meningkatnya kualitas hidup, dan peningkatan kegiatan pertanian mereka. Dalam mengadopsi input minimal (low input) sistem-sistem berkelanjutan dapat menunjukkan penurunan potensial fungsi-fungsi eksternal atau konsekuensi-konsekuensi negatif dari jebakan sosial pada masyarakat. Petani sering terperangkap dalam perangkap sosial tersebut sebab insentif-insentif yang mereka terima dari kegiatan produksi saat ini.
Pertanian Berkelanjutan Suatu Konsep Pemikiran Masa Depan. Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang berlanjut untuk saat ini, saat yang akan datang dan selamanya. Artinya pertanian tetap ada dan bermanfaat bagi semuanya dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Jadi dengan kata lain pertanian yang bisa dilaksanakan saat ini, saat yang akan datang dan menjadi warisan yang berharga bagi anak cucu kita. Menurut Gips, suatu sistem pertanian itu bisa disebut berkelanjutan jika memiliki sifat-sifat sbb:
Mampertahankan fungsi ekologis, artinya tidak merusak ekologi pertanian itu sendiri
Berlanjut secara ekonomis artinya mampu memberikan nilai yang layak bagi pelaksana pertanian itu dan tidak ada pihak yang diekploitasi. Masing-masing pihak mendapatkan hak sesuai dengan partisipasinya.
Adil berarti setiap pelaku pelaksanan pertanian mendapatkan hak-haknya tanpa dibatasi dan dibelunggu dan tidak melanggar hal yang lain.
Manusiawi artinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dimana harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi termasuk budaya yang telah ada.
Luwes yang berarri mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini, dengan demikian pertanian berkelanjutan tidak statis tetapi dinamis bisa mengakomodir keinginan konsumen maupun produsen.
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources), untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan.
Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (intercropping), penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah. The International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) menyatakan bahwa pertanian organik bertujuan untuk:
a)    menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dengan kuantitas memadai,
b)    membudidayakan tanaman secara alami,
c)    mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian,
d)    memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang,
e)     menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik pertanian,
f)       memelihara keragaman genetik sistem pertanian dan sekitarnya, serta
g)      mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani.
Beberapa kegiatan yang diharapkan dapat menunjang dan memberikan kontribusi dalam meningkatkan keuntungan harmonisasai produktivitas pertanian dalam jangka panjang, meningkatkan kualitas lingkungan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat tani adalah sebagai berikut: (1) pengendalian hama terpadu, (2) aplikasi sistem rotasi dan budidaya rumput, (3) konservasi lahan, (4) menjaga kualitas air/lahan basah, (5) aplikasi tanaman pelindung, (6) diversifikasi lahan dan tanaman, (7) pengelolaan nutrisi tanaman, (8) agroforestri (wana tani), (9) manajemen pemasaran, dan (10) audit dan evaluasi manajemen pertanian secara terpadu dan holistik.
Berdasarkan penjabaran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pertanian organik merupakan salah satu teknologi alternatif pertanian yang memberikan berbagai hal positif, yang dapat diterapkan pada usaha tani, sehingga produk-produk hasil pertanian dapat bernilai komersial tinggi, menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dan keamanan pangan, dan dapat memberikan kesadaran masyarakat dan petani khususnya dalam melestarikan ekosistem lingkungan. Oleh karena itu, untuk menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan yang harmonis dan berkelanjutan, perlu dilakukan upaya antara lain : (1) sosialisasi pemasyarakatan mengenai pentingnya pertanian yang ramah lingkungan, (2) penggalakkan konsumsi produk hasil pertanian organik, (3) diperlukan lebih banyak kajian/penelitian untuk mendapatkan produk organik yang berkualitas tinggi. Oleh karena itu perlu ditekankan bahwa usaha tani yang berorientasi pasar global perlu menekankan aspek kualitas, keamanan, kuantitas dan harga yang bersaing.
Salah satu alasan mengapa harus berlanjut adalah pengalaman selama ini dimana input tinggi telah menyebabkan degradasi lahan secara nyata. Sebagai contoh penggunaan pestisida yang berlebihan menyebabkan resurgensi, resistensi dan munculnya hama penyakit sekunder.
Penggunaan pupuk yang berlebihan malah menyebabkan pertemubuhan vegetatif yang tak diinginkan dan di daerah hilir menyebabkan eutrifikasi (suburnya perairan akibat akumulai hara oleh aliran air). Lahan sebagai penopang utama telah rusak, maka akan sangat mahal biaya yang harus dikeluarkan dan dimasa yang akan datang anak cucu hanya ditinggali barang sisa kurang bermutu. Pada hal harapakn kita semua generasi yang akan datang harus lebih baik daripada generasi saat ini. Langkah yang bisa ditempuh adalah pertama meningkatkan kesadaran pertanian berkelanjutan. Kedua setiap pihak yang berkait dengan pertanian melaksanakan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan. Ketiga dukungan konsumen yang tidak mengkonsumsi produk pertanian yang tidak ramah lingkungan. Langkah operasional yang bisa dilaksanakan adalah : melaksanakan pengolahan tanam minimal, sebanyak mungkin menggunakan pupuk organik, melaksanakan pengendalian hama penyakit dengan bahan yang ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1991. Toward sustainability. Soil and water research priorities for developing countries. National Academy press. Washington ,D.C. x +65h.
Brown, L.R. 1995. Nature’s limits. Dalam : State of the World. W.W. Narton & Company New York. H 3-20
Gardner, G. 1996. Presserving agricultural resources. Dalam : State of the World. W.W narton & Company. New York. H 78-94
Browse > Home / Daulat Pangan / Refleksi Pengembangan Kapasitas Petani Melalui Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan

 

ernawati djaya Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez